Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manggala Sutta dan Moderasi Perjuangan Hidup

17 Juni 2022   04:20 Diperbarui: 17 Juni 2022   04:23 1128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Manggala Sutta dan Moderasi Perjuangan Hidup (goodcontent.co.nz)

Penafian

Opini dalam artikel ini meski terinspirasi ajaran Agama Buddha mahzab Theravada adalah murni buah pikir pengarang sendiri yang tidak mewakili organisasi, mahzab atau ajaran manapun.

Iyah, saya menyontek program pemerintah yang mencanangkan tahun 2022 ini sebagai tahun moderasi beragama sebagai judul artikel ini. Karena sifat moderat dalam banyak hal memang tidak saja indah tapi perlu apalagi dalam perjuangan hidup.

Banyak orang tidak menyadari hidup itu penuh perjuangan. Hal ini terjadi bukan semata-mata mereka bodoh atau tidak peduli, tapi memang secara sosio kultural manusia menciptakan budaya yang meminimkan perjuangan.

Tidak seperti binatang, anak manusia tidak dibiarkan tumbuh sendiri, tapi dirawat oleh orang tua, dipenuhi semua kebutuhannya sampai pendidikannya. Malah ada orang tua yang sampai mencarikan jodoh buat anaknya.

Selepas sekolah terjun ke masyarakat, mendapatkan pekerjaan dan bergabung dengan angkatan produktif berkarya, diurus perusahaan. Mendapatkan gaji, fasilitas dan pesangon ketika pensiun.

Jadi hidup buat sebagian orang tidak ubahnya seperti ban berjalan di pabrik-pabrik. Terprogram dari bahan mentah melalui proses demi proses sampai jadi bahan jadi dan terbuang. Saking merasuknya program itu bahkan ketika menderita pun kita berkeras menganggap itu bagian dari programnya.

"Kalau tidak susah bagaimana tahu senang?"

Alhasil masing-masing menghadapinya dengan caranya sendiri-sendiri. Ada yang militan menganggap kesulitan dan penderitaan itu musuh yang harus dihancurkan dengan menghabisi risiko-risiko atau potensi-potensi yang bisa menyebabkan kesulitan itu baik secara fisik maupun mental.

Ada yang memanfaatkan orang-orang sekitarnya untuk menyelesaikan masalah yg dihadapi. Tidak cukup membudidayakan keluarga, lanjut bergabung dengan organisasi-organisasi dengan harapan mendapatkan bantuan ketika kesulitan menghadang. Tidak sedikit yang bingung harus berbuat apa, merasa terjebak tanpa jalan keluar dan berakhir di RS Jiwa.

Kita umat Buddha tidak perlu mengalami hal-hal tersebut untuk sadar dan meyakini bahwa hidup itu penuh perjuangan, Dalam Dhamma Vagga (14:4) / Dhammapada 182 Sang Buddha sudah memperingatkan:

Adalah sangat sulit terlahir sebagai manusia dlm lingkaran tumimbal lahir,
sungguh sulit hidup sebagai manusia,
sungguh sulit untuk dapat mendengarkan Dhamma,
demikianlah sungguh jarang terjadi kelahiran para Buddha

Begitu lahir kita butuh makan dan minum. Untuk hidup kita perlu komposisi udara tertentu untuk bernapas. Kepanasan hidup terancam. Kedinginan hidup terancam. Sambil semua itu kita alami, sel-sel tubuh ini membelah tiada henti menuju kerapuhan. Tiada henti dan tak terhentikan. Fenomena yang kita rayakan tiap tahun-penuaan. Itu baru sisi fisiknya (Rupa).

Secara mental kita mewarisi selera kamma masa lalu. Secara umum kesukaan dan ketidaksukaan ini sama dengan yang lain sehingga berebut. Kekhawatiran tidak kebagian yg disuka memicu keserakahan (lobha). Kehilangan yang disuka menimbulkan kebencian (dosa). Kesalahan pandangan hidup menjerumuskan kita ke pemuasan yg tiada habisnya. Tak terhindarkan.

Sabbe sankhara Dukkha

Tidak. Kita Umat Buddha tidak perlu lagi diyakinkan bahwa hidup ini penuh perjuangan!

Solusi yang terbaik tentu saja meneladani Sang Buddha kita berkiblat melenyapkan penderitaan, terbebas dari program samsara ini dan menjadi arahat. Tapi seperti kutipan diatas, hal itu kan praktis mustahil kita capai dalam kehidupan (manusia) ini?

Bagaimana seorang buddhis berjuang dalam hidup saat ini sebagai manusia? Bagaimanakah seorang buddhis mempertahankan kebahagiaannya saat ini sebagai manusia? Bagaimanakah seorang buddhis menyikapi warisan Kamma yang tiada bisa diketahui atau dimengerti sebagai manusia?

Jawabannya lagi-lagi kita ikuti teladan dari Sang Buddha Gautama yang setelah mengalami enam tahun sengsara karena bersikukuh memerangi penderitaan mendapat inspirasi dari pengamen yang lewat. Bahwa gitar jika senarnya disetel terlalu kencang akan putus ketika dimainkan, tetapi jika senar disetel terlalu kendur tidak bunyi ketika dimainkan-Moderasi.

Meski setuju penerangan sempurna adalah satu-satunya jalan pembebasan, kita merawat jasmani dan mengelola rohani sebagai manusia dengan segala keduniawiannya dalam perjuangan hidup agar bisa melanjutkan perjuangan menuju pembebasan sejati itu.

Banyak tuntunan mengenai hal ini dalam Tipitaka, tapi saya menemukan Mangala Sutta sebagai manual dalam menjalani dan berjuang menyintas kehidupan yang sangat baik dan lengkap.  Atas nama efisiensi dan efektivitas, Ijinkan saya sadur Sutta ini dalam sebuah daftar:

  • Tidak bergaul dengan orang berpadangan salah (bukan sok suci, tapi berusaha moderat).
  • Bertempat tinggal di tempat yang sesuai (Mungkin karena ini slogan agen properti itu-Lokasi, lokasi, lokasi).
  • Berpengetahuan luas dan berketrampilan (Dhamma tidak pernah bertentangan dengan iptek-Ehipassiko).
  • Terlatih baik dalam tata susila. (Jangan sampai jadi orang yg dijauhi dgn alasan nomor 1 diatas)
  • Menunjang tapi tidak bergantung pada sanak keluarga.
  • Bekerja dengan sungguh-sungguh. (Iyah, cari cuan karena moderat)
  • Berdana. (melatih melepas bukan investasi)
  • Tidak ketagihan terhadap apapun. (Apa hidup kurang Dukkha?)
  • Bersyukur (rendah hati, ingat budi baik orang dan puas dengan apa yg dimiliki)
  • Mudah dinasihati, meyakini Dhamma
  • Bersemangat tidak hanya dalam belajar tapi juga dalam Menjalankan Dhamma.

Demikian sekelumit ocehan tertulis dari saya, semoga menjadi inspirasi dalam perjuangan hidup, mohon maaf kalau ada kalimat yang kurang berkenan...

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitata
Semoga semua Mahluk Berbahagia.

**

Jakarta, 16 Juni 2022
Penulis: Paul Bhinneka untuk Grup Penulis Mettasik

dokpri, mettasik, paul bhinneka
dokpri, mettasik, paul bhinneka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun