Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sesungguhnya Tidak Ada Perjuangan yang Sia-sia

15 Juni 2022   05:58 Diperbarui: 15 Juni 2022   06:04 910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
mettasik, dokpri, toi yoyo

Di dalam kitab suci Dhammapada syair 182, Buddha mengatakan, "Sangat sulit untuk bisa terlahir menjadi manusia, sangat sulit menjalani kehidupan sebagai manusia, sangat sulit untuk bisa bertemu dengan Ajaran Benar, demikian juga sangat sulit kemunculan seorang Buddha."

Oleh karenanya, Buddha sudah mengingatkan manusia sejak hampir 2.600 tahun yang lalu bahwa tidaklah mudah untuk bisa terlahir sebagai seorang manusia. Hal ini disebabkan, butuh banyak perbuatan (karma) baik, barulah bisa terlahir sebagai seorang manusia.

Buddha juga mengingatkan manusia sejak dulu bahwa kehidupan sebagai seorang manusia tidak mudah. Hal ini dikarenakan dalam kehidupannya, seorang manusia memiliki berbagai permasalahan, persoalan, hambatan, tantangan, dan rintangan dalam berbagai bentuknya.

Oleh sebab itu, setiap manusia berkewajiban untuk berjuang sepanjang kehidupannya supaya bisa mengisi kehidupannya secara maksimal. Melalui perjuangan yang dilakukan, manusia dapat terhindar dari munculnya penyesalan di ujung kehidupannya. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyatakan bahwa "perjuangan" berarti usaha yang penuh dengan kesukaran dan bahaya.

Setiap manusia di dalam kehidupannya, menerima buah karma yang pernah dilakukan sebelum-sebelumnya, baik di kehidupan-kehidupan yang lampau maupun di kehidupan yang sekarang. Setiap manusia di dalam kehidupannya juga membuat karma-karma baru yang akan berbuah di kehidupan sekarang ini juga ataupun di kehidupan-kehidupan selanjutnya.

Sesuai dengan Hukum Karma yang diajarkan oleh Buddha, terdapat empat hal yang mempengaruhi buah-buah karma lampau yang akan diterima oleh seorang manusia dalam kehidupannya. Keempat hal tersebut terdiri dari kelahiran, penampakan, waktu/kondisi, dan usaha atau upaya atau perjuangan. Setiap dari keempat hal tersebut terdiri dari dua ekstrem yang berseberangan, yakni yang menguntungkan dan yang merugikan.

Pertama, seperti apa kelahiran seorang manusia, dapat mendukung berbuahnya karma-karma lampau tertentu di kehidupan tersebut.

Jika seorang manusia terlahir dalam keluarga yang baik, apalagi jika bisa di keluarga yang mulia dan dalam keadaan bahagia, dapat mendukung lebih banyak karma baik lampaunya berbuah. Meskipun misalnya ia kurang pandai atau biasa saja kualitas dirinya, dikarenakan karma-karma baik lampaunya bisa terlahir di keluarga yang sangat baik atau bahkan keluarga bangsawan, dia kemungkinan akan dibantu tidak hanya oleh keluarganya tetapi juga oleh orang-orang lain. Kemungkinan banyak karma baik lampaunya akan berbuah dalam kehidupan tersebut.

Sebaliknya, apabila seseorang terlahir di keluarga rendah, serba kekurangan, atau bahkan keluarga yang disisihkan oleh orang-orang lain, dapat mendukung lebih banyak karma buruk lampaunya berbuah. Kemungkinan besar kehidupannya akan sulit atau bahkan sangat sulit. Karma-karma buruknya akan lebih banyak berbuah dalam kehidupan tersebut.

Kedua, seperti apa penampakan fisik atau lahiriah seorang manusia, dapat mendukung berbuahnya karma-karma lampau tertentu di kehidupan tersebut.

Jika seseorang memiliki penampakan fisik yang baik dan tanpa cacat, dapat mendukung lebih banyak karma baik lampaunya berbuah. Orang-orang lain akan lebih mudah menyukai, mempercayai, dan mau membantunya. Kemungkinan banyak karma baik lampaunya akan berbuah dalam kehidupan tersebut.

Sebaliknya, jika seseorang memiliki penampakan fisik yang buruk atau bahkan cacat fisiknya, dapat mendukung lebih banyak karma buruk lampaunya yang berbuah. Orang-orang lain akan sulit untuk menyukai, mempercayai, dan mau membantunya. Kemungkinan besar kehidupannya akan sulit atau bahkan sangat sulit. Karma-karma buruknya akan lebih banyak berbuah dalam kehidupan tersebut.

Ketiga, waktu dan kondisi yang dihadapi dalam kehidupan, dapat mendukung berbuahnya karma-karma lampau tertentu di kehidupan tersebut.

Pada masa dunia sedang mengalami pandemi Covid seperti sekarang ini, hampir semua orang di berbagai belahan dunia harus menyesuaikan diri dan kehidupannya. Keleluasaan dalam menjalani kehidupan menjadi berkurang. Protokol kesehatan sesuai aturan pemerintah, harus diterapkan secara ketat untuk menjaga diri sendiri maupun orang-orang lain. Kemungkinan banyak karma buruk lampau akan berbuah dalam kehidupan tersebut.

Sebaliknya, di saat dunia sedang ada di titik puncak, ekonomi tumbuh dengan baik, berbagai kemudahan akan muncul bagi banyak orang. Di waktu atau kondisi seperti ini, kemungkinan banyak karma baik lampau akan berbuah dalam kehidupan mereka.

Keempat adalah usaha atau upaya atau perjuangan. Dibandingkan tiga hal sebelumnya, hal keempat inilah yang terpenting dan paling besar peranan atau kontribusinya terhadap buah-buah karma baik atau buruk lampau yang akan lebih banyak berbuah dalam kehidupan seseorang.

Usaha atau upaya atau perjuangan selain menjadi sebab baru, juga dapat mengkondisikan karma-karma lampau yang sesuai untuk lebih banyak berbuah. Dengan adanya usaha atau upaya atau perjuangan yang memadai, kemajuan duniawi dan batin akan mungkin terwujud.

Contohnya, kalau kita tidak berusaha atau berupaya atau berjuang melawan dan menyembuhkan penyakit yang diderita, akan sulit untuk dapat sembuh dengan sendirinya. Contoh lain, kalau kita tidak berusaha atau berupaya atau berjuang menghadapi dan mengatasi permasalahan yang merintangi, akan sulit terhindar darinya. Tanpa usaha atau upaya atau perjuangan yang memadai, kemungkinan karma-karma buruk lampau yang akan berkesempatan berbuah lebih banyak.

Kita juga dapat belajar tentang usaha atau upaya atau perjuangan seperti yang diteladankan dalam riwayat hidup Buddha Gotama.

Pangeran Siddharta dipercaya memiliki fisik manusia yang dapat dikatakan sempurna. Beliau juga dipercaya memiliki berbagai keahlian dan keterampilan sempurna seorang manusia. Dalam hal kekayaan dan kekuasaan, tak dapat diragukan lagi karena beliau adalah seorang pangeran, anak dari raja yang sedang berkuasa saat itu.

Dengan segala kesempurnaan sebagai seorang manusia, pangeran Siddharta dengan penuh perjuangan dan kerelaan melepas semuanya; guna mencari obat bagi tua, sakit, dan mati; untuk melenyapkan penderitaan manusia. Beliau lalu menjadi seorang pertapa yang dengan penuh perjuangan mempraktikkan kehidupan kepertapaan yang keras bahkan ekstrem. Pada akhirnya, beliau bisa meraih tujuannya untuk mencapai penerangan sempurna dan menjadi Buddha.

Meskipun sudah menjadi Buddha, Beliau tetap berjuang untuk mengajar para dewa dan manusia selama 45 tahun lamanya. Tak heran jika seringkali Beliau diceritakan tidur hanya satu atau dua jam selama sehari semalam. Hal ini dilakukan-Nya dalam upaya membebaskan makhluk-makhluk dari penderitaan.

Perjuangan juga sangat sering diteladankan oleh Bodhisatta (calon Buddha) sesuai dengan berbagai cerita di dalam Jataka. Berikut adalah salah satunya, dikutip dari Mahajanaka-Jataka, Khuddakanikaya, Suttapitaka (Tipitaka).

Suatu ketika, Bodhisatta adalah seorang pemuda bernama Mahajanaka. Ia berniat pergi ke Suvannabhumi dengan kapal laut. Malangnya, kapal yang dinaiki oleh Mahajanaka tidak kuat  menahan hantaman badai di tengah samudra. Kapal tersebut mulai tenggelam. Tangisan, ratapan, dan doa para penumpang kapal mulai terdengar. Mereka meminta pertolongan dari para dewa. Beda halnya dengan Mahajanaka. Ia tetap tenang dan bersiap-siap.

Sewaktu kapal perlahan miring mulai tenggelam, mulai terjatuh pula seisi kapal ke samudra. Mereka menjadi santapan berbagai makhluk samudra. Mahajanaka meloncat laksana terbang, menjauhi kapal. Ia selamat, tidak dimangsa oleh hewan-hewan laut. Berhari-hari Mahajanaka berenang untuk mencapai daratan.

Di waktu tersebut, pelindung samudra yang ditunjuk oleh empat raja dunia adalah Dewi Manimekhala. Ia dibekali wejangan ini, "Makhluk-makhluk dengan kebajikan yang sudah dilakukan, contohnya bakti terhadap ibu mereka, tidaklah pantas mereka tenggelam, mati di dalam lautan. Jagalah makhluk-makhluk yang demikian itu."

Dewi Manimekhala terpikir, "Hari ini adalah ketujuh saya belum mengecek lautan. Siapakah yang sedang berada di tengah samudra?" Sang Dewi lalu mengetahui Mahajanaka sedang berupaya keras, berjuang di tengah samudra. Dengan wujud yang menawan, Dewi Manimekhala menempatkan dirinya di udara, tidak berapa jauh dari Mahajanaka. 

Dia mengucapkan kalimat-kalimat berikut guna mengetes Mahajanaka, "Siapakah kamu, yang di tengah samudra ini, berjuang dengan gagah berani? Sahabat seperti apa yang dapat kamu percaya, untuk dapat memberikanmu bantuan?"

Mahajanaka menjawab, "Hari ini adalah ketujuh saya di tengah samudra. Saya tidak melihat makhluk hidup kecuali diri saya. Siapakah adanya yang berbicara dengan saya?"

Melihat Dewi Manimekhala berdiri di udara, Mahajanaka berucap, "Wahai Dewi, saya mengetahui kewajiban di dunia, harus berjuang di saat mampu, di tengah samudra ini, tak terlihat daratan, saya berjuang dengan cara terbaik, sejatinya seorang manusia."

Dewi Manimekhala lalu berujar, "Di tempat ini, di tengah samudra yang dalam tak terkira, di mana tiada tepian yang dapat dilihat oleh mata, perjuangan mati-matianmu tidak akan berguna, kamu pasti binasa di tengah samudra ini."

Mahajanaka menukas, "Mengapa Dewi berkata seperti itu? Jika saya mati di saat melakukan upaya dan perjuangan terbaik, setidaknya saya terbebas atas kesalahan. Seorang manusia dengan melakukan apa yang dapat dilakukan, akan terlepas dari celaan yang diberikan kaumnya. Ia juga akan dibebaskan oleh penguasa surga. Tidak akan ada penyesalan yang muncul dalam batinnya."

Dewi Manimekhala masih menguji, "Tak ada guna dan arti perjuangan seperti ini. Ketika tak ada hasil yang dapat diraih, juga tak ada imbalan yang dapat diperoleh, dan hanya akhir kehidupan atas semua deritamu."

Mahajanaka menjawab, "Seseorang yang memiliki pikiran bahwa tak ada hasil yang dapat dicapai dan tidak melakukan perjuangan di saat ia bisa, sangat layak dipersalahkan atas semua kerugian yang terjadi, dikarenakan hati yang dimilikinya lemah dan membuang-buang waktu. Berbagai orang dalam dunia ini membuat rancangan rencana. 

Mereka harus melaksanakan apa yang harus dikerjakan dengan sebaik mungkin. Rencana dapat sukses, mungkin gagal. Ketidakpastian masa depan akan menunjukkan sisanya. Hasil saat ini, ditentukan oleh tindakan diri sendiri. 

Semua orang yang lain mati namun saya bisa selamat. Anda pun berada di dekat saya. Yang terbaiklah akan terus saya lakukan. Saya akan terus berjuang untuk mengarungi samudra ini sampai ke daratan. Kalau saya masih memiliki kekuatan, takkan berhenti saya berjuang. Saya tidak akan menyerah hingga saya tidak lagi sanggup untuk berupaya dan berjuang."

Dewi Manimekhala kemudian berucap, setelah mendengar pernyataan Mahajanaka yang demikian teguh, "Perjuangan berani yang kamu lakukan di tengah samudra yang ganas ini, dengan tidak mundur dari tugas yang telah ditetapkan, berjuang sesuai dengan kewajiban memanggilmu, pergilah ke tempat di mana hatimu kehendaki. Jangan biarkan ada halangan merintangimu."

Dewi Manimekhala lalu bertanya ke mana tujuan Mahajanaka. Setelah mendengar jawabannya, Dewi Manimekhala melempar Bodhisatta ke arah atas seumpama karangan bunga. Lalu dipegang dengan kedua tangannya, diletakkannya di dada, dan dibawanya seperti ia adalah anaknya yang dikasihi. Dewi Manimekhala terbang hingga tiba di tempat yang diinginkan oleh Bodhisatta.

Sangat luar biasa usaha atau upaya atau perjuangan yang sudah diteladankan oleh Mahajanaka, Sang Bodhisatta. Inilah tauladan bagi seorang buddhis, yang mana harus terus berjuang selagi masih ada kesanggupan. Berjuang dan melakukan yang maksimal dan terbaik. Itulah hakikat manusia sejati. Manusia yang menghargai dan mengisi kehidupannya secara maksimal.

**

Referensi:

Sri Dhammananda. 2002. Keyakinan Umat Buddha. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya.

Tasfan Santacitta (Penerjemah), Drs. Handaka Vijjananda Apt. (Editor), Bhikkhu Dharmasurya Bhumi Mahathera (Penyelia Naskah). 2012. Jataka Volume VI (Mahajanaka-Jataka), Suttapitaka, Khuddakanikaya. Medan: Indonesia Tipitaka Center (ITC).

Toni Yoyo dan Rudy Gunawan. 2021. Pengaruh Hukum Karma dan Angka Terhadap Kehidupan Manusia. Pontianak: PT. Taman Dandelion Indah.

**

Tangerang, 15 Juni 2022
Penulis: Toni Yoyo untuk Grup Penulis Mettsik

mettasik, dokpri, toi yoyo
mettasik, dokpri, toi yoyo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun