Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Catatan Perjalanan: Merajut Kasih di Gunung Kelir

25 Mei 2022   06:41 Diperbarui: 26 Mei 2022   04:01 716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Turun dari kendaraan, seorang siswa bertanya "Miss, kita tinggal disini?", dan ada yang khawatir "Malam ada listrik kan ya?", juga ada yang panik "Miss lho, kok gak ada signal!!!"

Ya, itu adalah suasana saat siswa-siswi kelas 3 SMP Sekolah Narada pertama kali menginjakkan kakinya di desa Gunung Kelir.

Gunung Kelir, desa cantik di kabupaten Kulonprogo, daerah Yogyakarta, berbatasan dengan Purworejo.

Konon dulu disana ada lereng dengan tebing tinggi berwarna putih yang curam hingga ke dasar jurang, menyerupai kelir, sebuah bidang latar/layar yang dipakai pada pertunjukan wayang.  Mata pencaharian penduduk desa beragam, ada yang beternak kambing, bertani, dan membuat gula aren.

Desa ini selalu menjadi tempat siswa SMP kami menjalankan Live-in Program, kegiatan dimana para siswa tinggal dan berbaur dengan penduduk desa. Ya, mereka benar-benar berbaur dan menjadi bagian dari kegiatan sehari-hari para penduduk desa. 

Biasanya dua siswa akan menempati satu rumah yang sama, mereka menjadi "Anak" di keluarga tersebut selama program Live-in. 

Jika keluarga yang mereka tempati adalah peternak kambing, maka mereka akan belajar bagaimana memberi makan kambing, membersihkan kandang, dan mencari rumput untuk makan kambing peliharaannya.

Membersihkan kendang kambing | Dok Pribadi
Membersihkan kendang kambing | Dok Pribadi

Jangan ditanya kakunya mereka memegang sabit saat merumput, dan menebas daun singkong karet, namun ibu dan bapak angkat dengan sabar mengajari mereka ilmu baru tersebut. Ya, ini benar-benar ilmu baru bagi para siswa.

Memberi makan kambing adalah hal mudah dan menyenangkan, tapi berdiri di kandang kambing yang basah sesudah hujan adalah cerita yang berbeda. kami pernah disibukkan karena seorang siswa jatuh dan terkilir di kandang kambing. 

Untung masalah urut mengurut menyembuhkan dari terkilir penduduk desa ahlinya. Kaki yang terkilir sembuh dalam sekejap, dan besok pagi siswa itu siap ikut merumput dan mencari daun singkong karet untuk makanan kambingnya.

Mengumpulkan daun singkong karet untuk pakan kambing | Dok Pribadi
Mengumpulkan daun singkong karet untuk pakan kambing | Dok Pribadi

Bagaimana jika keluarga mereka pembuat gula jawa? Maka mereka ikut menemani bapaknya ke kebun, menyadap sari pohon kelapa. Tentunya mereka tidak bisa membantu menyadap, karena untuk itu dibutuhkan ketrampilan memanjat pohon setinggi 10 -15meter bahkan lebih. 

Mereka menunggu dibawah sambil memandang dengan takjub bagaimana "Bapaknya" naik dan mengumpulkan sari pohon tersebut. Kemudian bersama-sama mereka pulang memanggul jerigen berisi sari kelapa yang akan dimasak menjadi gula jawa selama berjam-jam

Memasaknya bukan pakai kompor gas, tapi menggunakan tungku berbahan bakar kayu selama 4-6 jam, yang kayunya harus dicari di tepian hutan yang berjarak beberapa kilo meter dari rumah. Karena kasihan dengan "anaknya" yang dari kota, biasanya "Bapaknya" hanya mengijinkan mereka memanggul kayu sedikit saja.

Pengalaman memanggul kayu bakar, ataupun saat mencoba menyalakan tungku, adalah pengalaman yang tidak mungkin terlupakan oleh para siswa.

Setelah sibuk membantu para orang tua angkatnya, malam hari sehabis mandi, para siswa berkumpul melakukan pujabakti bersama penduduk desa yang beragama Buddha di Vihara. Ada sekitar 400 umat Buddha di desa itu.

Perjalanan dari rumah ke vihara pun menjadi pengalaman menarik, merasakan sensasi berjalan di jalan yang gelap, merasakan embun malam, menggunakan senter sebagai sumber cahaya, dan terkadang sambil melihat kunang-kunang.

Dok Pribadi, puja bakti di Vihara Giriloka bersama penduduk desa.
Dok Pribadi, puja bakti di Vihara Giriloka bersama penduduk desa.

Selain bekerja, siswa juga sempat diajak berwisata ke Goa Seplawan, goa cantik ini memang terletak di atas desa gunung Kelir. Rasa lelah menanjak selama 30 menit menuju goa hilang begitu melihat kecantikan Goa Seplawan. 

Sensasi berjalan di goa luar biasa, seru melihat bagaimana siswa kami menjaga keseimbangan tubuh saat menginjak batu goa yang licin. Namun tidak perlu kuatir, kakak dan orangtua angkatnya selalu mendampingi siap menjaga  selama mereka berada di goa.

Ya, kebersamaan yang singkat, ternyata mampu menumbuhkan rasa sayang di hati keluarga angkat ini kepada para siswa, begitu pula sebaliknya. Seorang siswa bercerita, "Ibu" nya mencarinya dan memanggil pulang saat dia keasyikan bermain bersama teman yang lain hingga menjelang maghrib. 

Di hari terakhir, saat berpamitan, banjir air mata sudah pasti terjadi, baik siswa maupun keluarga angkatnya saling berpelukan dan berjanji untuk tetap saling memberi kabar. Janji ini dipenuhi, bahkan bebrapa siswa ada yang  menitipkan oleh-oleh untuk keluarga angkatnya di desa kepada siswa lain (adik kelasnya) yang mengunjungi desa pada program Live-in selanjutnya.

Tidak lupa "Ibu" nya memberikan oleh-oleh "Klethik", cemilan seperti keripik yang terbuat dari singkong. Juga gula merah mereka yang sangat harum.

Dok Pribadi, Pamit  Pada
Dok Pribadi, Pamit  Pada "Ibu" di hari Terakhir

Kilas Balik.

Saat awal meluncurkan program ini di tahun 2012, saya sempat ragu, khawatir orang tua siswa keberatan anaknya diajak tinggal di desa yang masih sederhana. Namun saya sampaikan beberapa hal yang menjadi tujuan diadakannya program Live-in, yaitu;

Mengajarkan siswa makna kerja keras dan hidup sederhana

Sejak subuh, penduduk desa sibuk beraktivitas. Hari diisi dengan bekerja dan bekerja. Penduduk desa hidup dalam kesederhanaan dan bahkan ada yang berkekurangan. Itu bukan karena mereka malas namun memang kondisi yang ada dan lapangan pekerjaan yang tersedia membuat mereka hidup dalam keterbatasan.

Siswa diajarkan bersyukur atas apa yang mereka miliki

Kehidupan di kota penuh dengan fasilitas dan kemudahan. Alat masak modern, sarana transportasi yang lengkap, fasilitas internet yang cepat, dan listrik yang menyala terang di mana-mana. Berbeda jauh dengan kondisi di desa, yang untuk memasak pun harus mengambil kayu yang dipanggul berkilo-kilo meter.

Bersyukur dari awal diselenggarakan, hampir semua orang tua siswa mendukung kegiatan ini. Beberapa bahkan memberikan info bahwa anaknya menjadi lebih peduli dan mau membantu pekerjaan rumah sejak mengikuti program Live-in.

Setelah jadi bagian dari keluarga di desa selama beberapa hari, melihat langsung kehidupan mereka dan merasakan perhatian dari penduduk desa, terbentuk rasa sayang di hati para siswa. Diharapkan memori ini akan terus membekas, jika kelak para siswa menjadi orang yang berhasil, semoga apapun yang mereka kerjakan akan mereka pikirkan imbasnya bagi yang lain, termasuk orang-orang yang hidup di pedesaan

**

Jakarta, 25 Mei 2022
Penulis: Prajna Dewi untuk Grup Penulis Mettasik

dokpri, mettasik, prajna dewi
dokpri, mettasik, prajna dewi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun