Saya ingat waktu masih kecil, berangan-angan ingin seperti orang dewasa. Melalui kacamata anak-anak, saya melihat orang dewasa bisa bebas melakukan apa saja. Bisa keluar dan pulang ke rumah kapan saja, bisa pergi kemana saja, tidak diatur-atur oleh orang tua "tidak boleh ini, bolehnya itu".
Lalu, saya merenungkan kembali perjalanan hidup ini.
Normalnya sejak janin kita selalu berada dalam perlindungan. Berada di dalam perut ibu adalah perlindungan pertama. Setelah sang janin membesar perut ibu sudah tidak muat lagi, sehingga timbullah ketidaknyamanan. Perut yang tadinya sebagai pelindung, mulai dirasakan sebagai pembatas gerak-gerik sang janin.
Setelah sang bayi lahir diletakkanlah ia di dalam tempat tidur berpagar. Agar bisa terlindung sehingga tidak terjatuh. Seiring bertambahnya usia, tubuh sang bayi semakin membesar, dan tempat tidur tersebut pun menjadi sempit baginya. Timbul keinginan untuk keluar dari tempat tidur yang awalnya untuk melindunginya.
Setelah tumbuh sebagai remaja dan dewasa, sosok kita berada dalam perlindungan rumah agar tidak kehujanan, kepanasan, virus, polusi dan sejenisnya. Namun di masa pandemi ini banyak yang stress karena di rumah saja.
Ketika keluar rumah dan berkendara, kita sudah berhadapan dengan berbagai aturan perlindungan. Seperti mengenakan helm jika mengendarai motor, mengenakan sabuk pengaman jika mengendarai mobil, dan berbagai aturan lalu lintas lainnya.
Dari sini kita dapat melihat, manusia senantiasa tetap merasa dirinya terpenjara meskipun:
- Sudah kaya secara materi.
- Punya keluarga yang lengkap
- Punya fisik yang lengkap
- Punya kedudukan yang diidamkan banyak orang
Jadi apakah perlindungan adalah penjara? Atau penjara sebenarnya untuk melindungi?
Banyak yang berpikir bahwa setelah dirinya besar ia bisa bebas berbuat apa saja. Jadi, apakah yang dimaksud bebas itu?
Apakah mungkin hidup tanpa merasa terpenjara? tetap bebas beraktivitas?
Setelah 28 tahun hidup menikmati berbagai kemewahan dunia, pangeran Siddhatta melihat untuk pertama kalinya orang yang sakit, orang yang tua, orang yang meninggal dunia. Beliau lalu tersadarkan, betapa hidup ini masih terpenjara. Tidak bisa sebebas-bebasnya menikmati hidup, karena ada batasnya, ada masanya. Bahwa ini semua pasti berakhir.
Meskipun beliau sudah bergelimang harta, makanan mewah, hiburan, memiliki tubuh yang sehat dan kuat, telah dicalonkan sebagai raja, memiliki istri yang cantik, disayangi ayah ibunya dan sanak keluarga. Tetap, saja semua kondisi tersebut hanya sementara.
Beliau telah memiliki semua yang diidamkan oleh banyak orang. Namun, Beliau sadar pada akhirnya semua itu akan dirampas oleh usia tua, sakit, dan kematian.
Dalam proses perenungan Siddhatta Gotama tentang fenomena usia tua, sakit dan kematian, beliau menjalani kehidupan petapa. Kehidupan istana yang megah dan banyak kemudahan sudah tidak lagi menyenangkan hatinya. Semuanya telah menjadi penjara baginya. Upaya ayahnya untuk memanjakan kehidupannya sudah tidak lagi berhasil.
Perjalanan berat pun dimulai, karena untuk bisa menjalani kehidupan petapa beliau perlu meninggalkan semua posisi dan kepemilikannya. Baik sebagai ayah, anak, suami, dan semua harta bendanya.
Semuanya ditinggalkan untuk menjalani kehidupan yang sama sekali baru baginya. Semuanya dijalani dengan sebuah kesadaran, bahwa pada akhirnya usia tua, sakit, dan kematian-lah yang akan ditemui.
Jadi, selagi masih hidup, demi cinta kasihnya kepada semua orang yang ia kenal, beliau bertekad menemukan obat untuk mengatasi usia tua, sakit dan kematian.
Setelah melalui perjuangan yang berat selama 6 tahun, pada akhirnya petapa Gotama menemukan cara mengatasi penjara kehidupan. Sehingga meskipun masih dalam tatanan kehidupan seperti manusia pada umumnya, batinnya telah terbebas dari sekat-sekat penjara kehidupan. Di kemudian hari Siddhatta, yang telah menjadi Buddha, kembali ke keluarga dan orang-orang yang dikenalnya, mengajarkan cara mengatasi usia tua, sakit, dan kematian.
Di sini kita melihat, Buddha melihat kehidupan sebagai penjara. Namun "penjara" bagi Buddha adalah motivasi bagi dirinya dalam mencapai penerangan sempurna. Terkadang kita pun demikian, melihat hidup juga seperti penjara. Tapi kita melihatnya dengan cara berbeda.
Reaksi orang yang merasa dirinya terpenjara selalu merasa stress, depresi, tidak berdaya, putus asa. Akibatnya, kesal, marah, dan berbagai emosi negatif lainnya memenuhi batin.
Sedangkan Buddha sendiri merasakan reaksi seperti baru terbebas. Ada kelegaan, kedamaian, dan berbagai kondisi batin baik lainnya.
Kita bisa mencontohi Sang Buddha, menjadikan penjara kehidupan sebagai proses pembebasan diri yang hakiki.
Hal ini bisa dimulai dengan penerimaan bahwa pada dasarnya hidup ini adalah Anicca (selalu berubah, tidak ada yang kekal). Bahwa ada serangkaian hukum yang perlu dipatuhi agar bisa terbebas dari penjara.
Coba bandingkan 2 cara keluar dari penjara seperti ini:
Pertama, memanipulasi lingkungan (fokus pada di luar diri): membuat kelompok pendukung di dalam penjara lalu menyuap sipir penjara agar bisa keluar, atau membuat lobang pelarian dari penjara, dan sejenisnya. Meskipun berhasil lolos, tetap menjadi buronan sepanjang hidup (karena ada hutang hukuman yang belum dilunasi).
Kedua, membina diri (fokus pada di dalam diri). Ketika diri telah terbina dengan baik hasilnya lebih permanen, karena setelah terbebas dari penjara, diri ini selamanya tidak akan terpenjara.
Tentunya cara kedua adalah yang baik.
Untuk itu, dalam menjalani proses pembinaan diri, maka seyognya seseorang perlu untuk menghindari perbuatan buruk, berkelakuan baik, menjaga kemoralan, mematuhi aturan di penjara, menjaga batin yang bisa memicu ucapan dan perbuatan buruk (marah, dendam, iri, dan sejenisnya), agar ia dapat terbebas dari penjara akibat kesalahan di masa lalunya.
Demikian pula dengan makhluk hidup yang ingin terbebas dari penjara kehidupan, maka ada serangkaian hukum alam yang perlu ditaati. Ketika melanggar hukum alam, maka kita menderita.
Apa saja bagian dari hukum alam? Ada utu niyama (terkait suhu, cuaca), bija niyama (terkait reproduksi makhluk hidup, benih tanaman), kamma niyama (terkait sebab-akibat perbuatan), citta niyama (terkait proses pikiran), dhamma niyama (fenomena-fenomena khas di luar dari 4 hukum tadi)
Mengapa harus ada hukum-hukum tersebut? Karena kita tidak bisa hidup sendirian, bergantung pada berbagai kondisi di lingkungan (cuaca, makanan, udara, makhluk hidup lain). Dengan demikian, maka kita perlu belajar hidup hamonis dengan yang di luar diri kita. Segala tindakan yang egois, yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa memedulikan yang lainnya hanya akan berujung pada penderitaan bagi diri sendiri.
Ketika mengikuti batasan hukum alam ini, maka kita akan semakin maju, karena alam semesta mendukung. Ibarat mengendarai kapal layar yang memanfaatkan arah angin untuk mencapai pantai seberang.
Jadi kita perlu "Tahu Diri", mengenali batasan-batasan dan kemampuan diri serta lingkungan:
- "Tahu diri, masih anak-anak" belum waktunya bawa motor / mobil
- "Tahu diri, sudah berkeluarga", jangan keluyuran malam-malam terus, ingat anak istri di rumah.
- "Tahu diri, sudah tua" jangan makan manis-manis, gorengan, jangan angkat barang yang terlalu berat (pakai alat bantu).
- "Tahu diri, mobil sudah kelamaan belum di servis, jangan dipaksa jalan jauh."
Termasuk "tahu diri" dengan kondisi tubuh ini.
Tubuh bisa menjadi penjara bagi setiap orang. Namun, jika disikapi dengan kebijaksanaan, ia bisa juga membebaskan. Ketika kita terlalu melekat kepada tubuh ini, maka hanya kekecewaan yang muncul saat tubuh ini berubah.
"Kenapa ya gigi saya copot, kenapa ya darah tinggi saya naik, gula darah saya naik, saya tidak bisa makan enak lagi?"
"Kenapa ya saya beruban, kenapa ya kulit saya keriput? Saya tidak bisa tampil cantik lagi."
Orang-orang bijak mengunakan tubuh ini sebagai obyek meditasi mencapai pencerahan untuk terbebas dari lingkaran kelahiran kembali yang tiada akhir. Ketika kita semakin mengenal tubuh ini, yang selalu berubah, tidak kekal, suatu saat akan lapuk, maka ketidakmelekatan batin terhadap tubuh ini semakin bertumbuh. Kebijaksanaan semakin berkembang, sehingga batin tidak lagi menderita saat tubuh ini berubah.
Semoga di suasana bulan waisak ini, kita semakin bijaksana menjalani hidup dengan mengurangi berbuat buruk, banyak berbuat baik, sehingga mengkondisikan sedikitnya halangan untuk melatih batin mencapai kebebasan dari penjara kehidupan.
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta, Semoga Seluruh Mahluk Berbahagia
Selamat Hari Raya Tri Suci Waisak 2566 BE.
**
Jakarta, 16 Mei 2022
Penulis: Fendy untuk Grup Penulis Mettasik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H