Aku mewarisi keyakinan dalam Buddhisme ini dari kedua orangtua, tetapi seperti kebanyakan keturunan Tionghoa di Indonesia, mereka sebenarnya lebih pas disebut sebagai pengamal kepercayaan menurut tradisi Tiongkok (Konfusius) yang bercampur dengan beberapa aspek praktik dari Agama Hindu Bali.
Dengan latar belakang seperti ini, aku tidak mengenal Buddhisme sejak dari mula, melainkan hanya pada saat sekitar masa remajaku, maka jangan pula berharap tahu tentang meditasi.
Aku ingat ketika pertama kali melihat dan akhirnya menemukan sebuah buku petunjuk meditasi Buddhis. Buku tersebut adalah buku yang mengajarkan meditasi pernapasan dengan menggunakan pelafalan kata "Buddho". Bud diucapakan dalam hati saat menarik napas, dan Dho ketika menghembuskan napas.
Tidak seperti dewasa ini, pada masa itu sangatlah sulit mencari buku-buku atau panduan bermeditasi. Juga, ada semacam pandangan salah atau keliru, suatu ketakutan bahwa praktik meditasi bisa membuat pelakunya jadi gila.
Misalnya seperti yang pernah dikatakan oleh salah satu kerabatku ketika beliau mengetahui aku tertarik belajar meditasi. Niatnya baik, beliau tak ingin aku celaka seperti salah satu saudaranya yang menjadi gila gara-gara menekuni ajaran spiritual tertentu yang mungkin dalam persepsi beliau ajaran itu adalah laku tapa atau meditasi.
Aku beruntung akhirnya kini memiliki kebiasaan bermeditasi setiap hari, sebuah praktik yang semakin lama semakin menjadi gaya hidup global.
Seperti segala hal, pada mulanya selalu berat. Duduk bersila menyadari napas masuk dan keluar, berusaha untuk selalu eling, sekadar lima menit sudah terasa sangat lama. Semangat kadang berkobar kadang melempem, dan pada saat-saat tertentu malah terasa bahwa yang kulakukan ini adalah pekerjaan sia-sia tak berguna dan buang-buang waktu (padahal, katanya, waktu adalah uang, dan aku tak suka buang-buang uang). Tapi toh aku tetap bermeditasi, terus beupaya setiap hari mendisiplikan diri untuk minimal sekali mempraktikkan meditasi duduk secara formal.
Targetku tidak muluk-muluk, cukuplah jika meditasi menetap menjadi kebiasaan baik dan suatu kebutuhan yang seakan-akan tanpa menjalankannya barang sehari aku akan mati seperti orang yang kehabisan napas.
Lalu seiring waktu yang terasa sangat lama, pelan-pelan sekarang mulai kusadari bahwa ini bukanlah praktik yang buang-buang waktu. Meskipun dalam kadar yang masih amat sangat rendah, manfaat-manfaat dari olah batin ini mulai kusadari.
Pandanganku tentang dunia berubah, caraku menanggapi suatu pengalaman keseharian pun sedikit-dikit bergeser ke arah yang lebih positif, toleran, berempati, sabar dan bijaksana (yeeiii, bukan nyombong!)
Sebagai contoh, pada masa lalu aku tanpa sadar akan membiarkan celutukan-celutukan dalam hati yang terasa wajar manakala menanggapi suatu percakapan tentang kerabat ini atau itu yang berhasil meraih prestasi ini atau itu. Setelah bertahun-tahun membiasakan diri bermeditasi, batinku menjadi lebih peka terhadap pemikiran-pemikiran negatif yang menyelinap diam-diam seperti maling.
Sekarang, seakannya aku memiliki seorang penjaga rumah yang memperingatkan aku "heii,,, ada si nyinyir" atau "woiii...hati-hati terhadap si iri dan dengki" sehingga aku mampu menyadari celutukan-celutukan itu ternyata adalah sesuatu yang kejam, tidak adil, nyinyir, bernuansa iri+dengki dan mentalitas "bermain sebagai korban" , dan kadang-kadang berhasil memotongnya sebelum muncul terlalu lama atau berkembang biak dalam batinku.
Atau pada saat-saat tertentu aku bahkan bisa langsung mencegahnya muncul sedari dini sekali, meskipun kadang-kadang juga gagal dan celutukan itu lalu berkembang biak menjadi emosi negatif yang membakar batinku.
Tidak apa-apa, kataku dalam hati kepada diriku sendiri. Engkau telah memupuk kilesa ini dari waktu yang tak dapat diketahui awalnya di dalam lingkaran lahir-mati bernama samsara ini, maka adalah wajar usaha pengikisannya pun memerlukan perjuangan yang tak kalah luar biasanya.
Selama tekad terus ditegakkan, bangkit setiap kali jatuh dan terus melangkah dengan belajar dari kesalahan-kesalahan sebelumnya, perjalanan ini pasti akan menemukan ujungnya di sesuatu yang tak terkatakan dan tak terlukis di mana sang ilusi tidak lagi berdaya menipumu.
**
Denpasar, 09 Mei 2022
Penulis: Chuang Bali untuk Grup Penulis Mettasik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H