Sebagai contoh, pada masa lalu aku tanpa sadar akan membiarkan celutukan-celutukan dalam hati yang terasa wajar manakala menanggapi suatu percakapan tentang kerabat ini atau itu yang berhasil meraih prestasi ini atau itu. Setelah bertahun-tahun membiasakan diri bermeditasi, batinku menjadi lebih peka terhadap pemikiran-pemikiran negatif yang menyelinap diam-diam seperti maling.
Sekarang, seakannya aku memiliki seorang penjaga rumah yang memperingatkan aku "heii,,, ada si nyinyir" atau "woiii...hati-hati terhadap si iri dan dengki" sehingga aku mampu menyadari celutukan-celutukan itu ternyata adalah sesuatu yang kejam, tidak adil, nyinyir, bernuansa iri+dengki dan mentalitas "bermain sebagai korban" , dan kadang-kadang berhasil memotongnya sebelum muncul terlalu lama atau berkembang biak dalam batinku.
Atau pada saat-saat tertentu aku bahkan bisa langsung mencegahnya muncul sedari dini sekali, meskipun kadang-kadang juga gagal dan celutukan itu lalu berkembang biak menjadi emosi negatif yang membakar batinku.
Tidak apa-apa, kataku dalam hati kepada diriku sendiri. Engkau telah memupuk kilesa ini dari waktu yang tak dapat diketahui awalnya di dalam lingkaran lahir-mati bernama samsara ini, maka adalah wajar usaha pengikisannya pun memerlukan perjuangan yang tak kalah luar biasanya.
Selama tekad terus ditegakkan, bangkit setiap kali jatuh dan terus melangkah dengan belajar dari kesalahan-kesalahan sebelumnya, perjalanan ini pasti akan menemukan ujungnya di sesuatu yang tak terkatakan dan tak terlukis di mana sang ilusi tidak lagi berdaya menipumu.
**
Denpasar, 09 Mei 2022
Penulis: Chuang Bali untuk Grup Penulis Mettasik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H