Suamiku punya hobi seperti macgyver. Segala sesuatu bisa dibongkar pasang, dimodifikasi dan kreasi daur ulang akan tercipta setelah itu. Inovatif.
Selain berkutat dengan elektronik. Ia seorang handyman. Plumber, montir mobil, tukang, sampai ahli reparasi AC dan HP.
Semua itu yang membuat aku kepincut. Lumayan hemat biaya service. Papaku suka butuh advis di rumah. Tidak ada kata "tidak bisa" bila bersinggungan dengan musik dan elektonik.
Suatu ketika, aku diajak ke studio di Bandung. Membantu adik angkat yang mempunyai masalah dengan dapur rekamannya.
Dari jam 08.00 hingga 24.00 kecuali jam makan. Mereka asyik membedah masalah yang ada. Termasuk membahas musik dan olah vokal. Sedangkan aku, betenya memuncak. Sendirian di ruangan. Main gim sampai baterai habis. Mal jauh. Takut nyasar. Gaptek pakai google map.
Kalau tidak ingat ada di Bandung. Bakalan sudah pulang sendiri.
Hobi itu menguasai suamiku sepenuhnya. Waktu 24 jam terasa kurang. Pengertian dan kesabaranku diuji saat itu.
Kalau sudah berdiskusi dengan teman di balai pertemuan apartemen, ia tidak ingat kalau istri ditinggal sendiri. Bukan pulang malam tapi pagi dini hari. Menghela napas!
Perkenalanku dengan suamiku ketika ikut tour yang diselenggarakan oleh vihara tempatku melatih diri dan memupuk kebajikan.
Ia seorang yang supel dan gaul. Pelatih grup vokal. Good looking, namun mempunyai berpostur tubuh dibawah 170 cm. Body shaming... Di zamannya, hampir semua komunitas vihara dan buddhis, dari remaja hingga lansia kenalnya.
Singkat cerita, karma kolektif mempersatukan kami menuju pelaminan.