Sudah lebih dari 40 tahun saya menikmati bakmi unik ini, tepatnya dimulai pada tahun 1982, sebut saja bakmi A. Pertama kali mencicipi, penjualnya menggunakan gerobak, tepat di depan kampus saya kuliah. Sekarang sudah banyak cabang, bukan pakai gerobak lagi.
Pertama kali diajak oleh kakak sepupu yang sudah lama tinggal di Jakarta. Bagi saya saat itu merupakan makanan mewah, karena harganya 3 kali lebih mahal dari harga makanan anak kos. Sejak itu tidak pernah terlupakan.
Bakmi A berbeda dengan bakmi lainnya, bakmi A dapat dinikmati tanpa daging, mienya saja sudah enak, gurih, teksturnya sedikit kenyal, tapi tetap lembut. Tidak ada daging yang ditumis dengan kecap, tetapi dibarengi dengan irisan daging ayam rebus.
Air sisa merebus daging ayam menjadi kuah. Kuah juga merupakan ciri khasnya. Sedap, gurih, jika perlu tambah lagi 1 mangkok.
Tetapi bertahun-tahun tidak menikmati, karena jauh dari tempat tinggal, hingga akhirnya bakmi A buka cabang di dekat rumah. Sudah seperti ritual, setiap bulan bisa dua atau tiga kali. Kami sekeluarga sarapan bakmi hanya hari sabtu atau minggu saja.
Bukan saja rasa enak, tapi membangkitkan kenangan lama puluhan tahun lalu. Membuat rasa enak lebih terasa.
Setelah berapa lama sayangnya, setiap minggu rasanya sering berbeda. Sesekali, benar-benar tidak enak. Mienya lengket, lembek, kuahnya hambar dan segala variasi rasa yang tidak enak, tapi kadang ada juga enak.
Rasa kecewa mendorong kami mencicipi bakmi-bakmi lainnya, ada juga enaknya. Setelah sekian banyak bakmi yang dicoba, semua ternyata memiliki rasa enak masing-masing, tetapi tidak seenak bakmi A zaman dulu. Rasanya benar-benar bikin kangen.
Akhirnya coba lagi deh siapa tau enak, enak juga nih. Tapi kecewa lagi karena pengolahannya sering berbeda, walaupun bahannya sama, tapi yang juru masaknya tidak ahli akhirnya kecewa lagi.
Rasa yang tidak pasti, membuat kami kecewa. Mungkin bukan kami saja, banyak pelanggan pasti kecewa. Ya, karena tidak pasti