Satu bulan lalu saya menghadiri 2 kejadian duka yang beruntun. Kejadian ini membuat saya berpikir sejenak bahwa semua yang dimiliki akan ditinggalkan ketika ajal menjemput. Terlintas di dalam diri, "apakah saya siap ketika itu terjadi?"
Ibarat video bioskop, muncul kilas balik kehidupan yang saya alami selama ini. Kejadian demi kejadian bermuara pada sebuah kesimpulan; Semakin tinggi hidup, perlu belajar semakin melepas.
Semakin tinggi usia, semakin banyak yang dilepaskan tubuh. Organ-organ yang mulai menua, yang sudah tidak bisa dipakai. Belum lama ini saya harus merelakan gigi saya yang telah menemaniku puluhan tahun.
Perpisahan kadang menyakitkan, meninggalkan luka, duka, dan ini terjadi saat gigi saya yang sudah tidak bisa dipakai dicabut oleh dokter gigi. Gigi tersebut dicabut karena sudah rusak dan agar tidak menjadi sarang infeksi yang bisa memperburuk keadaan.
Meskipun tidak mudah, aku menguatkan diri dengan ingat kembali ajaran Buddha; Bahwa segala yang terbentuk tidaklah kekal, suatu saat harus dilepas.
Dalam hati kuucapkan "terima kasih gigiku yang telah membantu ku mengunyah makanan, saatnya kita berpisah".
Sebenarnya sakit yang terjadi di tubuh itu diperlukan, kerena memberi sinyal ke diri kita untuk beperhatian dengan apa yang terjadi pada tubuh kita. Misalkan ketika tergigit benda keras yang tercampur nasi, timbul sakit, sehingga kita berhenti mengunyah. Sebagau tanda untuk memeriksa apa yang kita makan.
Menjadi bahan perenungan, urusan gigi yang bagian kecil dari tubuh ini sudah menimbulkan kesakitan karena ada yang terpisah dari tubuh ini. Bagaimana dengan bagian-bagian lain tubuh ini yang sudah waktunya dilepas?
Untuk semakin tumbuh tinggi, tubuh ini pun melepaskan makanan yang telah masuk setelah diolah dan diambil sari makanannya untuk tubuh. Dilepaskan melalui saluran-saluran pembuangan, agar tubuh ada tempat untuk serap makanan berikutnya.
Semakin tinggi usia, semakin banyak kenangan yang tersimpan di pikiran kita. Meskipun semua kenangan ini memberikan pelajaran hidup, namun tidak semua kenangan itu berguna untuk hidup kita ke depannya.
Trauma, kebencian masa lalu yang dipendam, membuat perjalanan hidup ke depannya menjadi lebih berat. Ibarat membawa banyak barang yang sudah tidak digunakan lagi dalam perjalanan, sehingga memberatkan perjalanan itu sendiri. Untuk itu kita perlu merelakan kenangan-kenangan itu pergi. tidak diingat-ingat lagi.
"Hiduplah saat ini", kata-kata yang sering saya dengar dari kitab-kitab Buddha.
Terlebih lagi ketika ajal semakin dekat. Ketika kenangan-kenangan buruk tidak dilepaskan, masih tetap digenggam dalam batin. Membiarkannya untuk selalu berbisik; "Dia menipuku, dia mencelakaiku, dan seterusnya."
Semuanya hanya akan berbahaya untuk kehidupan berikutnya, karena pikiran buruk terakhir yang muncul sesaat sebelum meninggal itu mengkondisikan terlahir di alam sengsara.
Meditasi menjadi sarana untuk membersihkan batin yang dipenuhi kenangan dan emosi yang tidak berguna. Dengan meditasi, kita berlatih untuk berdiam diri, tidak mudah bereaksi terhadap segala kenangan yang muncul.
Semakin besar dan tinggi rumah, semakin banyak yang perlu dibersihkan. Di masa awal saya menikah, masih sedikit isi rumahnya.
Seiring berjalannya waktu kehidupan rumah tangga dan punya anak, semakin bertambahlah isi rumah tangga: Peralatan dapur, peralatan kebersihan, mainan anak, buku-buku sekolah, tas, dan masih banyak lagi.
Lalu rumah direnovasi, dibuat lebih tinggi dan lebih banyak ruang untuk menampung isi rumah. Namun kemudian terisi lagi dengan barang-barang baru. Tidak akan pernah cukup menampung semuanya jika yang lama tidak dilepaskan atau didanakan.
"Ah sayang, buku ini nanti bisa dipakai lagi" kadang terlintas saat melihat buku lama yang masih ada di dalam rumah.
Akhirnya rumah menjadi gudang dan terkesan kumuh, sehingga menjadi sarang kehidupan makhluk-makhluk lain baik yang tampak maupun yang tak tampak, seperti rayap, semut, kecoa, tikus, dan lain-lain.
Pada akhirnya barang-barang tersebut yang tidak terpakai lambat laun juga lapuk. Kondisi ini pun tidak baik untuk kesehatan penghuni rumah. Maka rumah dan isinya pun perlu di daur ulang. Diperbaiki jika rusak, diserahkan ke yang lebih membutuhkan jika sudah tidak terpakai, dibuang atau dikeluarkan dari rumah.
Semakin tinggi posisi, semakin banyak yang perlu dilepaskan. Jika tidak, maka akan semakin banyak yang dikorbankan. Waktu masih kecil, peran yang dijalankan hanya sebagai anak, semakin bertumbuh perannya juga semakin bertambah. Menjadi murid, teman, karyawan, atasan, ayah-ibu, pengurus organisasi, dan seterusnya.
Tentunya tidak semua bisa sekaligus dikerjakan, perlu bertahap dan satu per satu. Ada pendelegasian tugas. Contoh sebagai seorang atasan yang telah memegang beberapa divisi, perlu mendelegasikan pekerjaan ke anak buahnya, agar bisa mengontrol lebih baik divisi-divisi yang dipegangnya.
Untuk bisa melepas di setiap peran, perlu hidup saat ini. Hidup sesuai dengan kondisi yang sedang dijalankan, bukan yang sudah dijalankan atau yang belum dijalankan. Karena berpotensi terjadi kekacauan.
Contoh: ketika kita sedang berjalan kaki, jika saat berjalan pikirannya ke masa lalu atau ke masa depan, maka konsentrasi saat berjalan menjadi berkurang, sehingga berpotensi jadi tidak waspada terhadap keadaan sekeliling, bisa terjadi tabrakan, atau terjatuh.
Begitu pula ketika sampai di rumah, sudah berubah peran menjadi ayah misalnya, maka permasalahan pekerjaan tidak dibawa pulang. Beperhatian hanya pada urusan di rumah. Hubungan keluarga, dan lain-lain. sehingga setiap urusan dari setiap posisi bisa diselesaikan, tidak tercampur aduk.
Pelepasan tertinggi dari setiap posisi, adalah pelepasan dari posisi itu sendiri. Jika kita begitu melekat pada setiap posisi yang kita pegang, maka ketika waktunya harus lepas, akan terjadi kesakitan dan duka yang mendalam. Ibarat perangko yang menempel erat ke kertas, ketika dilepaskan akan meninggalkan bekas yang mendalam.
Dalam perjalanan mendaki gunung, saya juga diajarkan untuk membawa bekal hanya yang benar-benar dibutuhkan. Karena bekal yang terlalu banyak akan memberatkan perjalanan mendaki. Juga perlu mengatur konsumsi secukupnya selama perjalanan (tidak terlalu berlebihan menghabiskan makanan, atau terlalu hemat makan)
Suatu kali saya menonton pesawat ulang alik yang perlu roket pendorong untuk terbang tinggi. Ketika mencapai ketinggian tertentu, roket pendorong ini harus dilepas agar pesawat tersebut dapat melanjutkan penerbangan lebih tinggi lagi.
Karena pada saat itu roket pendorong yang awalnya untuk membantu pesawat terbang lebih tinggi sudah berubah menjadi beban bagi pesawat tersebut.
Setelah berjuang, pangeran Siddhatta mencapai pencerahan tertinggi menjadi Buddha. Selama 45 tahun Sang Buddha mengajarkan ajaran dan menolong makhluk hidup dari berbagai kedudukan. Dari pagi sampai malam, menghadapi tak terhitung banyaknya makhluk hidup yang membutuhkan pertolongan. Sang Buddha bisa melakukan itu semua karena sudah sangat terampil melepas.
Saya jadi ingat cerita dari seorang kawan, terapis yang menghadapi berbagai persoalan klien, perlu terampil dalam melepas, agar tidak terbawa suasana emosi negatif klien.
Saya teringat kembali pada kutipan Dhammapada 62:
"Anak-anak ini milikku, kekayaan ini milikku," demikianlah pikiran orang bodoh.
Apabila dirinya sendiri sebenarnya bukan merupakan miliknya,
bagaimana mungkin anak dan kekayaan itu menjadi miliknya?
"Wah, semakin banyak saja pelajaran kehidupan melepas ini. Nyatanya kehidupan selalu berdampingan dengan pelepasan. Saya perlu sering berlatih melepas agar siap jika suatu saat perlu melepas semuanya." Gumam saya dalam hati.
Semoga teman-teman yang membaca ini juga bisa ikut berlatih melepas.
**
Jakarta, 10 April 2022
Penulis: Fendy untuk Grup Penulis Mettasik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H