Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Seni Menggores Air, Seni Melihat Amarah Mencair

12 Maret 2022   19:34 Diperbarui: 12 Maret 2022   19:49 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di suatu desa dekat pesisir lautan, ada seorang pemuda bernama Ari. Dia hidup dengan kedua orang tuanya.

Orang tuanya sudah jompo dan hidup sebagai pengrajin. Keluarga mereka sangat sederhana, hanya hidup dari hasil kerajinan tangan saja.

Ari adalah anak yang berbakti. Setiap hari ia bekerja tanpa henti. Dari pagi hingga petang hari. Merajut dan membuat bakul, sapu ijuk, dan berbagai alat kesenian.

Ari juga memiliki tugas tambahan. Dia bertugas untuk menjual dagangan mereka. Jika pasar sudah ramai, Ari akan bersiap-siap dengan kereta dorongnya, membawa jualannya sendiri.

Dia pergi dari rumah ke rumah dan dari desa ke desa, menjual barang-barang dagangan dengan penuh usaha.

Nasib tidak pernah menentu. Ada kalanya Ari berhasil menjual banyak. Akan tetapi, lebih sering dia tidak mendapatkan pelanggan.

Bersusah payah, barang tidak laku. Bekerja keras, banyak yang menghina. Perasaan kesal dan jengkel layak jadi satu.

Belum lagi jika ada pelanggan yang reseh. Barang ditawar, harga termurah pun diberikan. Selain jengkel dan kesal, marah pun ikut nimbrung.

Jika sudah demikian, Ari mempunyai cara yang aneh untuk meluapkan dan melupakan amarahnya. Setiap kali ia berjalan kembali menuju rumah, ia selalu mampir di pinggir pantai.

Ia membuat goresan di air laut...

Apapun pengalaman pahit yang Ari rasakan pada hari itu, akan ia goreskan pada air laut. Ari menghitung... Jumlah goresan yang ia buat sama dengan jumlah kekesalan yang ia alami.

Setiap orang punya cara yang berbeda untuk menumpahkan kekesalan. Apa yang dilakukan oleh Ari, tentu itu yang terbaik baginya.

Tapi, apa yang Ari rasakan? Entahlah, tidak ada yang pernah tahu.

Satu yang pasti, kemarahan, kekesalan, dan kekecewaan ia tumpahkan dalam bentuk goresan air.

Mari kita renungkan sejenak. Akankah goresan pada air tersebut ada di sana selamanya? Tidak, ia akan hilang seiring dengan gelombang air yang selalu ada.

Bahkan, goresan itu sebenarnya tidak pernah ada. Pada saat Ari menggores air, pada detik itu juga goresan tersebut hilang. Tak lagi berbentuk. Tak lagi kekal.

Begitu pula dengan benci, amarah, perasan kesal, jengkel, dan tidak senang. Cobalah perhatikan, ia hanya berada di sana sesaat saja.

Namun, ia juga tidak pernah hilang jika kita selalu menggoreskannya di sana. Tiada gunanya menimbunkan kemarahan dan kebencian di pikiran kita.

Bagaikan goresan di air, goresan itu segera sirna tidak bertahan lama.

Hendaknya kita senantiasa tidak mudah marah dan benci, meskipun itu muncul. Ia tidak akan bertahan lama.

**

Los Angeles, Amerika Serikat, 12 Maret 2022

Penulis: Willi Andy untuk Grup Penulis Mettasik

dokumen pribadi, mettasik, willi andy
dokumen pribadi, mettasik, willi andy

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun