Sang kepala vihara duduk sejenak dan menghela nafas. "Sesungguhnya yang mendapatkan kesaktian dari kalian bertiga adalah tamu keempat."
"Bagaimana mungkin, Bhante?" Keempat tamunya bertanya secara serempak.
Sang Jenderal merasa senang, karena ia berhasil menemukan gembong pemberontak. Baginya, itu jasa besar untuk kerajaan. Tapi, di dalam batin itu adalah kebencian.
Batinnya hanya ingin memusnahkan objek yang ia pikirkan. Padahal kebencian yang muncul hanya akan melahirkan kebencian-kebencian berikutnya. Tiada berkesudahan.
Itu adalah "dosa" (baca: kebencian). Faktor batin yang menolak objek.
Sang sarjana bersuka cita. Baginya 108 karya sastra klasik adalah segalanya. Dengan menguasainya, maka ia akan menjadi orang pintar. Berguna bagi kerajaan.
Batinnya hanya menyembah kepada satu objek. Padahal kebijaksanaan tidak bersumber mutlak. Ia bisa berasal darimana saja. Batin sang sarjana telah buta, ia tidak bisa lagi membedakan mana yang baik dan yang buruk.
Itu adalah "moha" (baca: kebodohan batin / kegelapan). Faktor batin yang mengaburkan objek.
Sang hartawan bergembira ria. Ia telah menemukan cara membuat kekayaannya muncul berkali-kali lipat. Ia akan menjadi orang kaya, dihormati dan terpandang.Â
Batinnya tidak pernah puas. Ia selalu menginginkan lebih. Lebih banyak dari yang ia butuhkan. Harta juga tidak menjadi jaminan akan tersimpan selama tujuh turunan.
Itu adalah "lobha" (baca: keserakahan). Faktor batin yang selalu terikat terhadap objek dalam bentuk Hasrat keinginan rendah, atau kemelakatan.