Saya kira, Anda dan saya belakangan ini diperlihatkan oleh dunia yang sama, yaitu dunia yang dipenuhi dengan orang-orang yang melampiaskan amarahnya. Tidak hanya di Indonesia tapi di mana saja dan untuk urusan apa saja.
Terjadinya bisa di terminal, di supermarket, di jalan ataupun barangkali di dalam pesawat terbang. Melanda siapa saja, dari rakyat jelata hingga pejabat publik. Dan ketika itu sudah viral, permintaan maaf terasa bisa menyelesaikan.
Bahkan tanpa sadar, kita juga sering terjebak di dalamnya, meskipun tidak sedang marah-marah. Kemarahan menjadi konten yang sangat berharga untuk disebarkan. Jika menjadi viral, kita turut bangga. Sangat tidak mengenakkan dan sangat tidak sehat.
Pemicunya bisa saja karena kondisi dan situasi. Masih segar di dalam pikiran, bagaimana pilpres bisa membuat orang-orang tersulut emosinya. Perbedaan pendapat membuat saudara sendiri saling memaki.
Lalu, muncullah pandemi. Ekonomi sulit, orang tersayang sakit. Berdiam diri di dalam rumah, internet menjadi sumber informasi terkini. Tidak semuanya benar, banyak yang hoax.
Celakanya, ada segelintir manusia yang suka memancing kemarahan. Perilaku mereka disebut dengan trolling. Sebuah drama kehidupan dengan munculnya sosial media.
Tapi, trolling ini sekarang sudah terbentuk dalam kehidupan nyata. Berpindah dari dunia maya ke dalam kehidupan nyata. Menghampiri mereka yang tidak punya akun media sosial.
Semoga Anda tidak terpancing dengan situasi oleh perilaku yang tidak bertanggung jawab ini.
Anda mungkin berkata jika saya tidak mudah emosi. Tapi, sebaiknya berhati-hati. Karena emosi sangat mudah disulut. Pikiran dan perasaan kita sesungguhnya sudah mengandung bensin yang siap terbakar.
Katakanlah hal-hal sederhana seperti Panic Buying. Fenomena ini terjadi di seluruh dunia. Bahkan jika Anda tidak ikut berebut, kata-kata provokatif mungkin sangat terdengar masuk akal.