Ibarat api yang siap membakar rumput kering, emosi kita seharusnya selalu basah. Agar pemantik yang jatuh di atasnya akan lenyap seketika.
Jauhkan batin dari keadaan "kering." Bersihkan daun-daun yang berguguran agar pikiran senantiasa sejuk. Perbaiki emosi, agar kita tidak mudah eksplosif. Jangan menjadi manusia bersumbu pendek.
Yang kedua, pemicu bisa dari mana saja. Agar api tidak menyulut, segera matikan. Tenangkanlah orang-orang di sekitarmu. Baik dari pasangan, atau siapa pun yang sedang marah.
Jangan sampai reaksi kita justru turut membakarnya. Karena ledakan emosi bagaikan bom hidrogen yang bisa menghancurkan dalam waktu yang sangat cepat. Merusak lingkungan, merusak orang lain, dan menghancurkan diri kita sendiri.
Marah bisa mengantarkan seseorang untuk membenci. Dari kebencian kemudian menimbulkan dampak yang lebih mengerikan lagi, yakni: penderitaan.
Kemarahan bisa saja tidak terungkap, tapi kebencian memiliki fungsi yang lebih mengerikan. Ia akan menjadi bom waktu.
Kemarahan tidak akan membuat diri Anda besar. Anda justru tampak kecil karenanya. Belajarlah untuk menerima dan memaafkan, karena itu adalah permata yang berharga.
Mintalah maaf dengan tulus. Karena sejak zaman media sosial, permintaan maaf juga mudah dianggap drama. Demi viral dan monetisasi, atau untuk menghindari sanksi.
Permintaan maaf yang tulus tidak perlu diekspos. Cukup dari hati terdalam dan kepada orang yang dituju. Tiada lagi dendam atau kebencian. Sembari bertekad untuk tidak lagi mengulangi.
Pengertian itu penting. Bukan seperti menghafal pelajaran sekolah seperti yang dulu sering dilakukan. Mengingat belum tentu mengerti. Memaafkan belum tentu dari hati.
Nalar tidak akan berarti lagi jika diri mudah tersulut emosi. Nalar bisa memberikan solusi, tapi kemarahan itu menyakitkan.