Sambil berbaring dan mengingat konsep karma, saya pun berhasil meredakan emosi. Ajaran Buddhis tentang tidak adanya kebetulan. Segala kondisi pasti bermula dari penyebab. Semua sebab pasti ada akibat. Dan semuanya berasal dari diri sendiri.
Sambil terdiam, saya pun menyadari emosi yang muncul tenggelam. Dengan tenang memerhatikan aliran napas, dan merasakan detak jantung yang cepat. Rasa debar pun berangsur reda seiring dengan emosi negatif yang mulai menguap.
Jadi ingat ajaran guru meditasi saya;
"[...] Jika negativitas muncul di pikiran, seberapa cepat Anda sadar akan hal itu? Seberapa cepat Anda mulai mengamati perasaan tubuh?"
Namun, semua fenomena batin yang saya rasakan belumlah seberapa, hingga muncullah perasaan kasihan. Lebih tepatnya, perasaan welas asih yang tulus, bagaikan cinta seorang ibu kepada anaknya yang tunggal (karuna).
Saya merasakan apa yang terjadi dengannya, larut dalam amarahnya, dan turut mengamati kegelapan batin yang menyelimutinya. Oh, betapa menderitanya batin kawan saya saat itu.
"Semoga engkau berbahagia dan terbebas dari segala penderitaan," demikian doaku yang tulus kepadanya.
Lantas kedamaian pun muncul. Tiada lagi debar jantung atau pun aliran darah yang mengalir deras bak air di kali ciliwung saat banjir. Fenomena ini belum pernah saya alami sebelumnya. Mungkinkah ini yang dimaksud dengan "in healing, you are healed?"
**
Keesokan harinya, tidak ada lagi perasaan marah, takut, atau setitik pun gundah gulana. Saya menerima teleponnya yang entah sudah ke beberapa babak. Yang pasti lebih panjang dari tayangan sinetron "Ikatan Cinta."
Makian sahabat saya ini terdengar keras, nadanya tinggi, lalu turun lagi ke nada rendah. Mungkin inilah yang dimaksud dengan "bernyanyi". Istilah yang diberikan kepada seseorang yang mengomel tanpa henti.