Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Upekkha: Belajar untuk Tidak Belajar

30 Januari 2022   06:12 Diperbarui: 30 Januari 2022   06:15 1241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Upekkha: Belajar untuk Tidak Belajar (medium.com)

Pagi ini, saya menerima sebuah pesan Whatsapp dari Bapak Khrisnamurthi. Isinya singkat; "Learn to Unlearn."

Sontak pesan singkat ini menimbulkan reaksi dari para member lainnya yang tergabung dalam Grup Whatssapp Forum Pembicara Publik.

Kelihatannya sederhana, namun cukup 'membangunkan' para member lainnya. Diskusi panjang pun bertebaran di sana. Setiap orang pun menyatakan teorinya masing-masing.

"Learn to Unlearn" dalam bahasa Indonesia adalah "Belajar untuk Tidak Belajar." Bagaimana mungkin? Bukankah manusia selalu hidup dari belajar?

Setiap saat kita belajar hal baru, mulai dari berbicara hingga membaca. Pun nasihat orang bijak mengatakan bahwa "tidak pernah ada kata terlalu tua untuk belajar."

Namun jika kita melihat dari perspektif yang berbeda, bisa saja kata bijak si abang Khrisnamurti ini ada benarnya, mengingat beliau adalah salah satu tokoh NLP Indonesia, dengan julukan "Mindset Motivator".

Nah, jika kita sudah berbicara mengenai Mindset, maka apa yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin. Hanya dengan mengubah sedikit pola berpikir, maka dunia akan berubah.

Proses belajar berarti menambahkan informasi kepada otak kita. Informasi tersebut bisa saja yang betul-betul baru, atau sesuatu yang sudah kita pahami sebelumnya.

Begitu pula dengan jenis informasi, ada yang berupa pengetahuan umum, ada juga dalam bentuk berita, hingga opini yang mengajak otak untuk berselingkuh dengan apa yang sudah diyakini.

Apapun itu, setiap informasi yang masuk ke dalam otak kita, pasti akan menimbulkan efek yang disebut dengan persepsi. Nah persepsi ini kemudian menimbulkan berbagai jenis perasaan.

Kadang kita marah terhadap sebuah informasi yang provokatif, kadang kita terbuai dengan puisi-puisi indah, dan kadang juga kita merasa senang dengan adanya opini yang sepihak dengan benak kita.

Intinya, informasi yang kita terima akan memaksa kita belajar. Tanpa disadari proses ini lantas menimbulkan persepsi-persepsi baru dalam diri yang mampu mengubah sikap kita dalam berinteraksi.

Mengapa demikian? Karena seluruh informasi yang diterima, diproses melalui ke-5 panca indra, yang untuk selanjutnya dimasukkan kedalam batin manusia.

Setelah proses ini berlangsung, maka batin akan mengeluarkan ribuan channel dalam berbagai bentuk. seperti perasaan, pola berpikir, beropini, cara bersikap, cara berinteraksi, cara menyelesaikan masalah dan lain sebagainya.

Selanjutnya, setiap output yang keluar akan mendapatkan respons dalam bentuk pengalaman. Pengalaman pengalaman ini yang kemudian dipelajari lagi oleh batin dan kemudian dimasukkan kedalam memori, untuk kemudian diproses dengan jutaan pengalaman sebelumnya.

Dengan demikian maka seluruh pengalaman hidup akan menjadi database yang sangat besar yang akan diproses dalam batin untuk menentukan setiap output yang keluar dari diri manusia. Output ini disebut dengan KEHENDAK BATIN.

Baca juga: Mengapa Manusia Berbeda?

Pernahkah kita berpikir jika suatu saat nanti kita tidak akan menerima informasi baru, sehingga diri kita tidak akan terpengaruh baik secara mental maupun jasmani? Rasanya tidak mungkin.

Namun ada cara yang dapat digunakan untuk memroses informasi hanya sebatas informasi saja. Tidak ada tendensi ataupun persepsi yang baru yang dapat memengaruhi sikap kita.

Dalam Buddhisme disebut dengan Upekkha.

Pemahaman sederhananya adalah Keseimbangan Batin. Sikap ini merujuk kepada pertimbangan yang lurus, pandangan yang adil, tidak berat sebelah.

Mengacu kepada sikap seseorang untuk tidak menilai, tidak memihak, tidak menolak, dan juga tidak menerima.

Tujuannya untuk melepaskan diri dari perangkap emosional dalam batin. Semisalnya marah karena tidak lulus ujian, sedih karena kehilangan kepemilikan, atau gembira karena mendapat pujian.

Oleh sebab itu, tidak perlu terlalu larut dalam kesedihan, dan tidak terjebak dalam euforia kegembiraan. Berusaha tenang dengan menyadari bahwa segala sesuatu tidak kekal adanya (anicca). Serta menyadari bahwa ada sesuatu yang berada di luar kekuasaan kita (anatta).

Jika kita tidak bisa menerima kedua konsep ini, maka timbullah penderitaan (dukkha).

Sebagai output dari Upekkha, kita pun tidak menghakimi, tidak menilai, dan tidak membandingkan.

Jadi bersikap Upekkha adalah melihat segala sesuatu apa adanya. Melihat segala sesuatu dengan lebih objektif. Melihat semua orang setara, terlibat dalam percakapan yang saling menghargai, dan setiap momen itu sama pentingnya.

Kita dapat bersahabat dengan suka dan duka sekaligus. Karena duka tidak dibenci, dan suka tidak dimanja.

Pada akhirnya "Learn to Unlearn" memang hanyalah sebuah jargon. Setiap saat kita memang terus belajar. Namun, jangan sampai pelajaran-pelajaran baru kemudian merisak dan merusak kemurnian berpikir kita.

Bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah apa adanya. Dia hanya akan berbeda dengan paradoks pemikiran yang ada.

**

Makassar, 30 Januari 2022

Penulis: Rudy Gunawan untuk Grup Penulis Mettasik

dokumen pribadi
dokumen pribadi

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun