Seorang pakar bedah dari Sekolah Tinggi Ahli Bedah Sri Lanka melakukan analisis terkait hubungan antara ilmu saraf dengan filsafat Buddhis.
Dr. Channa Ratnatunga, dalam tulisannya di The Island pada 30 Oktober 2020, melakukan analisis menggunakan data yang bersifat subjektif dan obyektif untuk menghubungkan filsafat Buddhis dengan neurosains (ilmu saraf).
"Dalam filsafat Buddhis jarang menyebutkan Otak, tetapi sering menyebutkan batin/pikiran (Pali, Sanskerta: citta). Ini tidak berarti bahwa organ yang disebut otak, tidak dikenal pada saat itu," tulis Dr. Channa mengawali analisisnya.
Tercatat dalam Maha-Vagga dari Kitab Vinaya Pitaka, seorang dokter (tabib) terkenal bernama Jvaka Komrabhacca sedang melakukan operasi tengkorak dari seorang saudagar, mungkin untuk mengalirkan darah yang terkumpul di dalam tengkoraknya. Dia pasti tahu bagaimana hal itu bisa memengaruhi fungsi otak / pikiran.
Di dunia Barat, Aelius Galenus yang dianggap sebagai orang pertama yang mencoba mengubah pendapat yang ada pada tahun 200 Masehi. Dia berpendapat bahwa otak dan bukan jantung yang menjadi pusat 'kecerdasan'.
"Kita sekarang telah melangkah lebih jauh," kata Dr. Channa yang pernah mengalami serangan strok lima tahun lalu.
"Saya pikir hal yang tepat untuk menempatkan filsafat Buddhis pada pijakan yang lebih ilmiah dengan menghubungkannya dengan ilmu saraf saat ini. Data bersifat subjektif dan obyektif sebagai ilmu."
Bagian dari otak dari semua vertebrata, yang menjadi lebih penting pada mamalia, dibanding dengan burung dan reptil adalah otak reptilia. Sekarang digambarkan sebagai sistem Limbik.