Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Konsep Tanpa Aku: Menyadari tentang "Apanya Kamu yang Disakiti?"

8 Januari 2022   19:59 Diperbarui: 8 Januari 2022   20:18 1149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Konsep Tanpa Aku: Menyadari Tentang "Apanya Kamu yg Disakiti?" (primevideo.com)

Suatu hari seorang mahasiswi datang ditemani orang tuanya, seorang bapak berusia sekitar setengah abad. Sang mahasiswi bercerita sambil menangis dan mengadukan perilaku seorang dosennya kepada saya.

Sang mahasiswi tidak menerima perlakuan dosennya, yang katanya telah bertindak kasar. Ceritanya, sang dosen menerima tugas sembari marah-marah. Ditambah juga dengan nada bentakan yang keras.

Menanggapi kasus ini, tentunya saya tidak boleh gegabah. Saya harus mampu menyikapinya dengan bijak. Ada dua hal yang kemudian terlintas di dalam benakku.

Yang pertama adalah meluruskan kesalahpahaman yang terjadi terkait aduan, sekaligus menetralisir hubungan sang mahasiswi dengan dosennya

Yang kedua adalah membantu sang mahasiswi untuk melihat dunia yang lebih luas. Dunia yang mungkin belum ia sadari: Dunia Tanpa Aku.

Seyogyanya para mahasiswa tidak hanya dibekali dengan pengetahuan akademik semata. Sebisanya, sebuah institusi pendidikan diharapkan juga mampu untuk mengajarkan hal-hal yang tidak tertera pada buku teks.

Termasuk apa yang akan saya sampaikan kepada sang mahasiswi, terkait "Konsep Tanpa Aku."

Saya berharap agar konsep ini dapat membantunya untuk menghadapi masa depan dengan lebih tenang. Bisa mengendalikan stres, memiliki emosi yang lebih terkendali, dan berhati luas. Sebabnya, kehidupan tidak seindah yang mungkin sedang ia bayangkan.

Saya lantas menanyakan alasan perilaku kasar sang dosen. Menurut mahasiswi tersebut, itu akibat ia terlambat mengumpulkan tugasnya.

"Terus?" Saya menanyakannya kembali sembari menatap matanya. Berharap kejujuran.

Sang mahasiswi tampak canggung, dan menjawab perlahan, "saya sudah menjelaskan alasannya kok, pak. bla, bla, bla..."

Saya merasakan ada sedikit perasaan bersalah bercampur segan dari diri sang mahasiswi. Namun, sesaat kemudian sikapnya langsung berubah ketika ia balik menuduh sang dosen atas sikapnya yang tidak pantas.

"Tapi, kan dia tidak bisa bersikap kasar sama muridnya, pak." Ungkap sang mahasiswi, masih dalam perasaan sakit hatinya. Saya pun terdiam sesaat.

"Baiklah, kalau begitu, saya mewakili si dosen untuk minta maaf kepada kamu, dan juga ayahmu." Jelasku tegas, meskipun saya tidak bermaksud untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan sederhana. Tidak sesederhana itu.  

Ayah sang mahasiswi tampak puas. Bagaimana pun ia tahu, permintaan maafku layak mewakili si dosen. Tapi, sang mahasiswi tampaknya masih belum terima.

"Saya masih sakit, pak." Ia berkata masih dengan nada tersedu-sedu.

"Kalau begitu, apamu yang sakit. Coba kamu jelaskan. Kepala, tangan, kaki, atau jantung?" Jawabku dengan nada yang datar-datar saja.

Sang mahasiswi gelagapan. Ia tidak bisa menjawab dengan pasti. Berharap diriku memahami rasa sakit "di hatinya."

Ia membandingkan perlakuan sang dosen dengan sikap ayahnya yang bagaikan bumi dan langit. Merasa jika sang dosen tidak berhak mengasarinya, karena ayahnya sendiri tidak pernah memarahinya kasar.

"Baiklah, kalau begitu apa yang bisa dilakukan oleh sang dosen, agar 'sakit' mu bisa disembuhkan?" Saya kembali bertanya, masih dengan suara datar.

Sang mahasiswi kelihatan canggung. Ia sebenarnya mengharapkan diriku memberi hukuman atau paling tidak teguran atas sikap sang dosen yang menyakiti dirinya.

Tapi, tentu tidak demikian penyelesaiannya. Saya pun kembali menanyakannya lebih lanjut.

"Andaikan temanmu yang disakiti, apakah dirimu juga akan sakit?"

"Tentu tidak, pak. Temanku kan bukan AKU." Ia menjawab.

"Menurutmu, apakah temanmu akan tersakiti?" Saya bertanya lagi.

"Tidak tahu pak. Temanku kan bukan AKU." Ia menjawab lagi.

"Nah, andaikan kamu yang jadi dosen tersebut, apakah kamu akan menyesal?"

"Tidak tahu pak, dia kan bukan AKU." Ia menjawab pertanyaanku.

"Kalau begitu, saya akan memanggil sang dosen untuk meminta maaf kepada-MU. Apakah "AKU" akan tenang?"

Saya menjawab sembari menunjuk ke arahnya, pada saat mengucapkan kata "AKU."

Sang mahasiswi tidak menjawab. Tapi, saya bisa merasakan adanya getaran. Semacam keraguan, yang pasti bukan ketakutan. Karena memang diriku tidak sedang memarahinya. Suaraku datar-datar saja.

Mungkin saja keraguan itu muncul antara rasa hormat kepada sang dosen, atau rasa segan untuk berkonflik. Atau, semoga saja ia menyadari Konsep "Tanpa Aku" yang kumaksud.

Sang mahasiswi memang perasa, tapi ia bukanlah wanita perkasa. Ia mengharapkan agar konflik tidak usah diperpanjang lagi. Cukup diriku yang tahu permasalahannya.

"Apa yang kamu rasakan, juga yang ia rasakan." Saya pun melanjutkan kuliah singkatku padanya.

"Pada dasarnya kalian berdua memiliki cara pandang yang sama. Sayangnya itu tidak utuh. Sehingga terciptalah tembok yang tinggi, sehingga AKU-mu dan AKU-nya tidak akan pernah menjadi 'KITA.'"

Sang mahasiswi masih terdiam, ketika diriku melanjutkan;

"'AKU' versi kamu dan 'AKU' versi dirinya itu bukanlah 'AKU' yang sama. Padahal, sama-sama AKU. Masalah ini akan mudah selesai, jika kamu bisa menempatkan dirimu di posisi dosen kamu, dan ia pun begitu." Pungkasku memberikannya pemahaman.

Sebelum ia sempat bertanya. Atau mungkin juga tidak akan bertanya, saya pun melanjutkan lagi.

"Seharusnya kita bisa melihat bahwa setiap manusia punya alasannya masing-masing untuk bertindak. Lihatlah sesuatu dari sisi komprehensif. Janganlah berpersepsi tanpa konfirmasi."

"Lihatlah kepentingan orang lain juga, serta menyadari bahwa ia pun bisa melihat dirimu atau maksudmu yang sebenarnya."

"Ke-AKU-an yang berlebihan tidak akan membuat kita menjadi manusia yang bertoleransi, jadinya mudah tersakiti, hingga akhirnya menimbulkan stres yang tidak perlu dijalani."

"Dengan demikian, jika memang kamu mencintai kedamaian, maka hilangkanlah AKU sejenak dari dalam dirimu."

Rasanya saya masih punya ribuan wejangan yang bisa kusampaikan tentang "Konsep Tanpa Aku" ini. Tapi, seharusnya si mahasiswi ini cukup cerdas untuk memahami maksudku.

Lagipula, senyum kebahagiaan telah terpancar dari wajahnya. Bagiku, cukup.

Semoga ke depan ia bisa mulai menerima konsep "Tanpa Aku." Dan yang terlebih penting bisa lebih berbahagia...

Demikian juga dengan kita yang membacanya. Jika kita bisa memahami konsep "Tanpa Aku," maka pada akhirnya kita akan kembali bertanya kepada diri kita sendiri,

"Apanya yg disakiti?"

Tapi, Entahlah jika nanti sang mahasiswi akan tersakiti kembali jika Ke-AKU-an masih menciptakan mental block dalam dirinya.

Karena pada dasarnya Ke-AKU-an akan selalu melekat  pada diri kita semua. Dengan kamu, dengan dia, dengan mereka, dan tentunya dengan AKU juga.

Jadi, cobalah hidup dengan lebih baik lagi, cobalah hidup sejenak "Tanpa Aku."

**

Jakarta, 8 Januari 2021

Penulis: Idris G So untuk Grup Penulis Mettasik

dokumen pribadi
dokumen pribadi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun