Suatu hari di sebuah aula gereja di Semarang, Jawa Tengah diadakan pesta Natal untuk kaum miskin perkotaan. Romo Paroki dan segenap umat menyelenggarakan makan siang untuk anak-anak jalanan.
Ada sekitar seratusan anak yang datang menghadiri perjamuan makan siang Natal yang universal itu karena yang hadir dari aneka agama dan latar belakang.
Panitia dibantu para dermawan telah menyediakan nasi kotak untuk menjamu tetamu yang adalah kaum marjinal. Seperti layaknya bayi Yesus yang lahir bukan di istana, tetapi justru di kandang bersahaja.
Para gembala yang mengunjungi bayi Yesus yang lahir di palungan Betlehem itu juga adalah kelompok miskin yang disingkirkan oleh pemuka agama pada masanya. Tersebab para gembala itu sulit sekali memenuhi aturan ritual kebersihan eksternal menurut aturan agama yang pada waktu itu menjadi sangat rinci.
Kelak, Yesus akan mengkritik habis-habisan oknum pemuka agama yang terlalu menekankan kebersihan eksternal alih-alih kebersihan hati dan pikiran.
Mari kembali ke Semarang.
Romo Paroki menyambut dan mempersilakan anak-anak gelandangan, pengamen, dan pemulung itu untuk duduk di dalam aula.
Setelah sambutan dan doa singkat, anak-anak dipersilakan menikmati nasi kotak yang dibagikan panitia.
Ada seorang anak gelandangan yang tidak menyentuh nasi kotak di hadapannya. Ketika teman-temannya makan dengan lahap, si anak itu hanya memandangi nasi kotak itu.
Romo segera mendatangi anak itu. "Dik, apa kamu tidak lapar?" tanya sang pastor. Si anak diam saja. Malu menjawab.
Kemudian sang pastor bertanya, "Oh, mungkin Adik nggak mau makan daging ayam? Bisa kok minta ganti lauk. Nanti Romo ambilkan lauk lain dari pastoran. Gimana?"
Si bocah masih terdiam. Sejurus kemudian dia menjawab, "Saya bisa kok makan daging ayam, Romo."
Si Romo makin penasaran. "Terus, kenapa Adik tidak mau makan nasi kotak ini?"
Si bocah pemulung itu akhirnya jujur menjawab, "Kakakku sakit. Aku ingin bawa nasi kotakku ini untuk dia."
Sang Romo menghela nafas panjang. Matanya mulai sembab.
Sambil menyembunyikan rasa harunya, sang imam berkata, "Sungguh baik hatimu, Dik. Sekarang jangan cemas. Adik makan saja nasi kotak ini. Nanti Romo akan antar Adik pulang sambil membawa makanan untuk kakakmu."
Si bocah mengangguk. Ia segera membuka nasi kotak itu dan menyantap dengan lahap.
Setelah acara, Romo Paroki menepati janjinya.
Dengan motor, diantarnya si bocah gelandangan budiman menyusuri gang-gang kampung yang sempit dan kumuh.
Di sebuah pondok bersahaja, si kakak terbaring lemah karena demam. Tak ada orang tua mereka. Maklum, sedang mengais sampah demi menyambung hidup.
Sang Romo berjanji akan datang kembali. Mengusahakan bantuan dan perhatian untuk keluarga si bocah gelandangan.
Dalam perjalanan pulang, sang Romo meneteskan air mata yang telah ia tahan sedari tadi.
"Anak itu memberi dari kekurangan, sementara banyak orang, termasuk aku, memberi terlalu sedikit dari kelimpahan,"Â bisiknya dalam hati.
**
Romo Bobby untuk Grup Penulis METTASIK
Natal 2021, diolah berdasarkan kisah nyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H