Berawal dari sebuah RS di Semarang. Aku lahir di sana. Papa tinggal di Pekalongan bersama kakak yang terpaut 16 bulan. Praktis menjadi tidak mudah untuk Papa yang tinggal di Pekalongan untuk berkunjung dan menemani Mama setiap saat.
Di Semarang? Kenapa tidak di Pekalongan? Ternyata RS tersebut adalah RS terbaik eranya. Alhasil Mama kesepian. Keluarga besar Mama ada di Jakarta. Teman-teman pun tidak ada. Padahal, Mama adalah anak ke sembilan dari 13 bersaudara. Wah, bisa jadi kesebelasan sepak bola plus cadangan ya!
Andaikan berada di antara keluarga dan sahabat, pasti Mama akan mendapatkan perhatian dan makanan yang berlimpah ruah. Apalagi akses tol sudah seperti sekarang. Sekejap. Wuus.. jarak tempuh Pekalongan-Semarang seperti dari bandara Soetta ke stasiun Gambir. Sekitar satu jam sampai. Tanpa macet.
Nasib berkehendak lain, demi melahirkanku, Mama kekurangan asupan gizi. Mama hanya makan secukupnya, namun harus tetap menyusuiku. Kenapa tidak Gofood? Hehehehe. Faktanya saat itu Mama tidak dibekali uang elektronik bahkan cash. Handphone? Belum zamannya.
Ma, maafkan aku... anakmu yang sudah membuatmu susah.
Dalam tradisi tionghoa, 40 hari pasca melahirkan perawatan diri harus dijalankan dengan ketat. Antara lain tidak boleh kena angin langsung. Mandi air hangat dan tidak keramas. Tidak bekerja berat. Makan makanan bergizi untuk memulihkan tubuh.
Masa-masa krusial seorang wanita adalah setelah melahirkan. Karena akan berdampak pada kesehatan jangka panjang. Berbagai penyakit akan menghampiri bila terabaikan. Tapi Mama tidak mendapatkan privilege itu.
Memasuki bab berikutnya. Â Kakak beradik tiba di masa pertumbuhan. Setiap waktu kami selalu lapar... lapar... dan lapar. Â Apapun yang dilihat selalu menjadi incaran kami untuk dilahap.
Suatu ketika kami berdua sudah selesai makan dalam hitungan menit. Giliran Mama yang sedang menyuap garpu pertama ke dalam mulut semangkok bakmi ayam spesial. Nikmat...
Namun dua pasang mata mengiba untuk mendapatkannya. Mama merelakannya walau menahan lapar. Kakak beradik menjadi gembul. Mama menjadi semakin langsing. Dengan bobot hanya 36 kg dan tinggi 160 cm.
Ma, maafkan aku... anakmu yang sudah membuatmu susah.
Saat aku lulus SMA (kelas 12). Galau dan bimbang melanda. Inginnya menjadi mahasiswa kuliahan universitas ternama. Tapi modal tipis. Kerja saja. Kakakku sudah kuliah di salah satu universitas di bilangan Grogol. Bagaimana denganku?
Seakan bisa membaca pikiranku. Perdebatan terjadi. Mama mengatakan, "Walaupun kamu seorang perempuan, tetap harus melanjutkan kuliah. Titik!" Argumen Mama adalah perempuan tidak hanya berkutat di dapur, menikah dan mengasuh anak. Perempuan dan Laki-laki adalah jender yang mempunyai kedudukan sama.
Aku mengikuti nasehat Mama. Mendaftarkan diri menjadi calon mahasiswi di Akademi Sekretari di Jakarta. Lolos seleksi. Senang rasanya. Terlebih di semester kedua, aku sudah diterima bekerja paruh waktu. Lulus di semester 6. Semua biaya perkuliahan pun lunas semuanya.Â
Aha... Terima kasih Mama. Benar, petuah orang tua itu adalah jimat bagi anaknya.
Kesehatan Mama memburuk akibat malnutrisi masa lalu dan kelalaian pasca melahirkan. Sedih. Pasti. Untuk itulah, Mama selalu mengingatkan kami menjaga kesehatan. "Jangan seperti Mama! Tanpa raga sehat, segalanya sia-sia."
Jasmani Mama tidak kuat menopang sakit yang dideritanya. Namun, perjuangan, semangat, tak kenal menyerah. Kasih Mama yang diwariskan kepada kami tidak akan pernah sirna dimakan zaman, sepanjang hayatku.
Andaikan aku mempunyai mesin waktu Doraemon. Kan ku putarbalikkan kisah indah bersama Mama. Sehingga aku memiliki kesempatan untuk berbakti dan membalas budi semasa Mama hidup.
Bercerita, bersenda gurau, tertawa bersama. Bukan sebaliknya ketika Mama sudah tiada. Jangan pernah sia-siakan kesempatan emas yang ada di hadapan kita. Kesempatan hanya datang sekali dalam kehidupan ini. Menyesal kemudian tidaklah berguna.
Tugasku saat ini menjalankan amanah Mama, semai bibit kebajikan selagi mampu, upayakan semua makhluk ikut merasakan kebahagiaan. Berbakti kepada Mama. Mengatasnamakan nama mendiang, agar Mama turut bersukacita. Pattidana (Pelimpahan Jasa dalam Buddhisme).
Kasih ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia
Selamat hari ibu kepada semua perempuan hebat yang ada di semesta ini.
**
Jakarta, 23 Desember 2021
Penulis: Iing Felicia untuk Grup Penulis Mettasik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H