Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Terima Kasih Ibu, Telah Menjadi Malaikat bagi 11 Anakmu

23 Desember 2021   04:37 Diperbarui: 23 Desember 2021   04:49 805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menikah di usia yang sangat muda bukanlah keinginannya. Melahirkan sebelas orang anak pun bukan impiannya. Begitulah ibuku, menjalani hidup sebagai seorang perempuan di era kehidupannya.

"No choice", tidak ada pilihan. Seolah tidak ada hak berkata untuk menentukan apa yang ibu inginkan...

Tapi semuaya dijalani dan dilalui dengan semangat dan kasih yang tulus. Walau sesekali diselingi tangis dan air mata. Bukan karena kerasnya kehidupan, namun semata-mata hanya karena kenakalan anak-anaknya.

Menjadi istri seorang sopir angkot, membuatnya berpikir - bagaimana untuk hidup dan menghidupi sebelas orang buah hati.

Tidak banyak perempuan yang setangguh dan sehebat diri ibu. Naik-turun angkot, untuk berjualan kain. Berkeliling kampung, bermandikan keringat, itu sudah pasti. Karena dirinya harus memanggul kain dagangan yang terbungkus gembolan.

Setelah sekian lama berjualan keliling akhirnya ibu mampu memiliki sebuah warung kecil. Ibu yang semakin sibuk, tidak pernah mengurangi rasa cinta dan hormatnya kepada keluarga.

Masih melekat dalam ingatanku, betapa ibu memberikan perhatian dan kasihnya pada nenek. Sepulang dari warung, ibu selalu menyempatkan diri untuk singgah ke rumah nenek. Menjenguk dan membawakan makanan kesukaan nenek... daun sirih.

Tidak perlu makanan enak atau barang mewah untuk dapat membahagiakan orangtua. Cukup dengan perhatian dan kasih yang tulus, diekspresikan dengan tindakan.

Ibu tidak perlu berkata-kata dengan nasehat, bagaimana cara menghormati dan menyayangi orang tua. Hanya tindakan nyata yang dilakukannya, yang menjadi contoh dan guru bagi kami.

Sesibuk apapun, seberat apapun beban hidup ibu, tetap menyempatkan diri untuk memberi perhatian pada nenek.

Saat itu, makanan kami pun sangatlah sederhana sekali. Lauk telur sudah menjadi barang mewah. Itu pun sebutir yang harus dibelah dua atau empat agar semua anak mendapatkan jatahnya.

Untuk memenuhi kebutuhan gizi anaknya, ibu memelihara bebek dan ayam di pekarangan belakang rumah. Telur dikonsumsi untuk lauk makan kami.

Ibu bukan orang yang berpendidikan, hanya bisa baca tulis sekedarnya. Gelarnya pun STTD (Sekolah Tidak Tamat SD)

Mungkin karena kondisi itu pula yang membuat ibu mempunyai banyak akal. Ia selalu berpikir keras, bagaimana cara agar anak-anaknya mendapat makan yang cukup.

Sepulang dari warung, ibu berbelanja sayur dan lauk untuk keperluan makan sehari-hari. Tidak lupa juga ia selalu meminjamkan timbangan dacin kepada penjual ikan di pasar. Sebagai imbalan, ikan ia dapatkan dari sang penjual. Jadilah kami mendapatkan lauk mewah pada hari itu...

Aku kecil cukup nakal, malas sekolah. Satu kali diriku berpura-pura sakit. Sepulang dari warung, dengan kondisi yang amat lelah, ibu mengetahui kalau aku bolos sekolah. Murkalah beliau, Memar biru, hadiah yang ku terima karena cubitan ibu.

Sore menjelang malam, setelah aku tenang, tangisku pun reda. Ibu pun sudah sempat istirahat. Sambil berbaring dan memeluk diriku, ia berkata;

"Ibu tidak membenci kamu nak, ibu sangat sayang pada kamu... Ibu hanya ingin semua anakku dapat terus sekolah agar tidak jadi orang bodoh seperti diriku."

Ibuku bukan ahli psikologi, tapi beliau tahu kapan harus menyampaikan isi hati dan memberikan penjelasan bahwa apa yang dilakukannya bukan karena "kebencian." Sehingga aku kecil benar-benar mengerti bagaimana dirinya mencintaiku dan memikirkan masa depanku.

Ibu selalu menemani kakak-kakakku belajar sampai tengah malam. Sambil terkantuk-kantuk, ia tidak pernah mengeluh. Padahal esok hari sudah harus bangun pagi untuk mempersiapkan seluruh keperluan ayah, dan juga bagi kami semua, anak-anaknya.

Tidak ada "me time" buat dirimu, ibu. Sehari 24 jam, seluruh waktumu hanya untuk keluarga dan orang lain.

Sayangnya ibu tidak lama bersama kami. Aku masih kelas tiga SD, ibu sudah harus berpulang. Adik bungsuku bahkan tidak ingat sama sekali bagaimana sosok ibu. Saat ibu pergi, ia baru umur 5 tahun.

"Tidak perlu seberapa lama kita hidup, tetapi apa yang sudah kita lakukan selama kita hidup."

Demikianlah aku menghibur diriku karena kepergian ibu pada usia yang sangat muda...

Selamat jalan ibu, sudah begitu banyak pengorbananmu untuk kami. Begitu banyak parami, karma baik yang sudah engkau lakukan.

Ibu pasti menapaki hidup dengan langkah yang lebih ringan di kehidupan selanjutnya...

Terima kasih ibu... Telah membesarkan dan mendidik kami dengan caramu yang indah.

Terima kasih ibu... Sudah menjadi cahaya bagi kami, bagaimana seharusnya kami melangkah.

Terima kasih ibu.... Anumodana atas kehadiranmu dalam kehidupan kami dan menjadi teladan bagi kami semua.

Semoga kami dapat mencontoh segala kebaikan hatimu. Semoga kita semua tetap dapat mengenal dhamma, agar kita segera terhenti dari roda kehidupan ini...

Sabbe satta bhavantu sukhitatta
Semoga Semua Mahluk hidup Bahagia

**

Jakarta, 23 Desember 2021

penulis : Aya Metta Yani untuk Grup Penulis Mettasik

dokumen pribadi
dokumen pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun