Selanjutnya, sekalipun ditanya, manusia 'tinggi' tidak mengungkapkan sifat-sifatnya sendiri yang pantas dipuji, apalagi jika tidak ditanya. Tetapi jika ditanya dan harus menjawab, dia membicarakan sifat-sifatnya sendiri yang pantas dipuji dengan menghilangkan sebagian dan secara ragu-ragu, tidak lengkap dan tidak mendetil. Orang seperti ini harus dianggap manusia 'tinggi'."
Sedangkan mengenai manusia "rendah", Buddha mengatakan dalam Aguttara Nikya, Sutta Piaka, Tipitaka (kitab suci agama Buddha) sebagai berikut:
"Bahkan tanpa ditanyapun, manusia 'rendah' mengungkapkan kesalahan-kesalahan orang lain, apalagi jika ditanya. Tetapi jika ditanya dan dipancing dengan pertanyaan-pertanyaan, dia membicarakan kesalahan-kesalahan orang lain tanpa menghilangkan apapun, tanpa menahan apapun, secara lengkap dan mendetil. Orang seperti ini harus dianggap manusia 'rendah'.
Selanjutnya, sekalipun ditanya, manusia 'rendah' tidak mengungkapkan apa yang pantas dipuji pada diri orang lain, apalagi jika tidak ditanya. Tetapi jika ditanya dan harus menjawab, dia membicarakan apa yang pantas dipuji pada diri orang lain dengan menghilangkan sebagian dan secara ragu-ragu, tidak lengkap dan tidak mendetil. Orang seperti ini harus dianggap manusia 'rendah'.
Selanjutnya, manusia 'rendah' tidak mengungkapkan kesalahan-kesalahan sendiri sekalipun ditanya, apalagi jika tidak ditanya. Tetapi jika ditanya dan harus menjawab, dia membicarakan kesalahan-kesalahannya sendiri dengan menghilangkan sebagian dan secara ragu-ragu, tidak lengkap, dan tidak mendetil. Orang seperti ini harus dianggap manusia 'rendah'.
Selanjutnya, manusia 'rendah' mengungkapkan sifat-sifatnya sendiri yang pantas dipuji sekalipun tidak ditanya, apalagi jika ditanya. Tetapi jika ditanya dan dipancing dengan pertanyaan, dia membicarakan sifat-sifatnya sendiri yang patut dipuji tanpa menghilangkan sebagian dan tanpa keraguan, secara lengkap dan mendetil. Orang seperti ini harus dianggap manusia 'rendah'."
Sedangkan dalam Magala Sutta (ajaran tentang berkah utama), Buddha menganjurkan kita untuk bergaul dengan orang bijaksana, yaitu orang-orang yang secara konsisten menjaga kebaikan dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan badan jasmaninya. Kebalikannya, Sang Buddha menganjurkan kita untuk tidak bergaul dengan orang yang tidak bijaksana, yaitu orang-orang yang secara konsisten tidak memperlihatkan kebaikan dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan badan jasmaninya.
Dalam kehidupan kita, berusahalah untuk mengidentifikasi orang "tinggi" dan bijaksana. Kemudian berupayalah lebih sering bergaul dengan orang-orang tersebut. Niscaya kita akan lebih mudah mencapai kualitas "tinggi" dan bijaksana pula. Sebaliknya dalam pergaulan dengan orang lain, kitapun harus mampu menjadi sosok yang memperlihatkan kualitas "tinggi" dan bijaksana. Dengan begitu kita bisa memberi pengaruh positif kepada orang-orang lain.
Demikian pula, kita harus berusaha mengidentifikasi orang "rendah" dan tidak bijaksana. Kemudian berupaya menghindari pergaulan dengan orang-orang tersebut. Niscaya kita tidak terperosok menjadi orang yang berkualitas "rendah" dan tidak bijaksana. Sebaliknya dalam pergaulan dengan orang lain, kitapun tidak boleh menjadi sosok yang "rendah" dan tidak bijaksana. Dengan begitu kita tidak memberi pengaruh negatif kepada orang-orang lain.
Jangan lupa untuk selalu memasang saringan diri yang tepat dengan siapapun kita berinteraksi atau terpapar. Kita hanya boleh melewatkan hal-hal yang baik ke dalam diri ataupun ke luar diri.
**