Serombongan belalang di padang ilalang. Mereka ada di sana menyebar fitnah. Atas keinginan surgawi yang terzolimi. Dukkha berbekas dalam pikiran yang tak terbatas.
Angin bertiup kencang, Hujan tercurah bak air bah. Petir bersautan tiada henti, seakan langit sedang marah. Emosi penghuni bumi sedang meradang, Melihat amarah sang junjungan. Memohon ampun dan lindungan-Nya, Padahal Anicca adalah ada dan tiada.
Sakit setia menemani setiap hari, Tiada henti mendera batin dan jasmani. Ingin berlari, menjauhkan diri darinya. Namun ia tetap menetap dan semakin menjadi- jadi. Saatnya sadar diri, Dukkha tak dapat dihindari karena pasti terjadi. Terima dia, niscaya kita bisa lebih tenang hati
Sepasang insan bernostalgia menyeruput coklat panas Belgia. Waktu yang lalu membuat pikiran menjadi halu. Anicca perubahan yang membawa kepasrahan. Melewati hari nan silih berganti, Beragam dimensi terjadi penuh arti. Semua hanya ilusi tanpa diri sejati. Sadarkan kita arti penting Anatta.
Belalang kecewa tak tampak hasil, Hanya kekosongan dan kehampaan. Galau berharap mendapat kilau. Siapakah yang terjaring, hati-hatilah melangkah. Dukkha adalah jebakan semesta.
Siang malam silih berganti. Manusia lahir, tua, sakit, dan mati. Bagaimana terbebas dari ini?
Renungkan Dukkha, Anicca dan Anatta di hati.
**
Dukkha:Â Penderitaan, Ketidakpuasan, Kesedihan, Kemalangan dan Keputus-asaan.
Anicca:Â Segala keberadaan yang berkondisi, tanpa pengecualian, berada dalam perubahan terus menerus.
Anatta:Â "Tiada-Aku". Sebagai konsep merupakan antipola dari kata Atta yang berati "Aku".
**
27 November 2021
Penulis: Rudy Gunawan, Johny Hanjaya, Muljawati Chiro, Hoey Beng, Iing Felicia, Miguel Dharmadjie, Inge Santoso untuk Grup Penulis Mettasik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H