Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Mama dan Sapu Penyelamat Kecoak

25 November 2021   05:07 Diperbarui: 25 November 2021   05:31 1699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada suatu hari saya berkunjung ke rumah mama dan melihat sebuah pemandangan yang tidak biasa. Namun, sebenarnya juga sudah biasa. Mama membawa sapu dan mengejar sesuatu.

Mudah ditebak, mama mengejar serangga kesayangannya, Kecoak! Biasanya, sekali ayun sang serangga malang itu langsung remuk. Untungnya, saat itu saya sedang berada di sana.

"Mama, jangan bunuh kecoak!" teriakku.

Seribu Bahasa sayang dariku kepada bunda tercinta, tidak mampu membendung lancarnya omelan beliau.

"Kamu tahu, kecoak ini kotor, tidak bermanfaat, de el el, de es be..." omelan mama meluncur deras.

Emang sih, saya pun termasuk orang yang anti kecoak. Banyak juga jijik padanya. Saking banyaknya, sehingga para ilmuwan pun tertarik untuk menyelidikinya. Ada pula alasan ilmiahnya.  

Satu.

Kecoak adalah hewan yang bau. Itu karena ada cairan yang dikeluarkan dari tubuhnya. Manusia tidak suka dengan bau ini, padahal itu adalah hal yang mulia dari bangsa kecoak.

Study dari University of Florida menyatakan bahwa bau badan kecoak adalah jejak kimia untuk berkomunikasi. Jika seekor kecoak menemukan sumber air dan makanan, bau badannya berguna untuk mengajak teman-teman lainnya untuk berbagi rezeki.  

Dua.

Kecoak adalah hewan yang Tangguh. Mereka bisa bertahan dari segala macam virus dan bakteri. Mereka juga tidak mudah dibasmi dengan obat serangga.

Bahkan, kecoak masih bisa hidup selama beberapa minggu, meskipun kepalanya terputus dari badannya. Mereka mati bukan karena tidak ada kepala, tapi karena tidak bisa makan dan minum.

Hal ini tentu mengerikan bagi manusia, sehingga sering dianggap musuh. Namun, kelebihan ini punya makna filosofis yang dalam. Tidak mudah menyerah dalam segala suasana.

Tiga.

Kecoak bisa terbang. Tapi ia selalu menyasar dirimu. Benarkah demikian? Jika iya, pantaslah ia dibunuh. Maaf, kita salah. Kecoak adalah penerbang buruk. Serangga itu hanya menggunakan sayapnya jika merasa terancam.

Itu pun tidak ke arah manusia. Lebih tepatnya ke arah cahaya. Manusia lebih tinggi dari kecoak. Tubuh kita yang besar seringkali menutupi cahaya, sehingga terlihat laksana siluet berbayang.  

Jadi, kecoak menganggap siluet ini sebagai sumber cahaya. Tidak heran mereka selalu terbang ke arah diri kita. Itupun karena manusia selalu panik jika bertemu dengan serangga kecil tidak berdosa ini.

Kembali ke aksi brutal mamaku.

Bisa dimaklumi mama jijik dengan kecoak. Lagipula kecoak juga melambangkan rumah yang tidak sehat. Dalam Buddhisme, ada sila pertama yang tidak boleh dilanggar. Isinya adalah larangan membunuh sesama mahluk hidup.

Namun, penerapan sila ini tidak boleh juga diartikan secara membabi-buta. Karena jika iya, maka seharusnya seluruh umat Buddha tidak bisa lagi makan daging. Karena memakan daging adalah usaha untuk mendukung pembunuhan.

Sila pertama adalah ajakan bagi diri kita untuk terbiasa berbuat baik.

Tidak membunuh mahluk hidup sama dengan memberikan mereka kesempatan untuk hidup. Apakah ini tidak berlebihan?

Menurut saya tidak. Memang pemikiran ini tergolong idealisme tinggi (mungkin sedikit tidak masuk akal). Namun, ada yang namanya simbiosis mutualisme. Alam menciptakan manusia, hewan, tumbuhan, dan segala isinya sebagai bagian dari sebuah ekosistem universal.

Artinya, seburuk apa pun kecoak, ia tetap bermanfaat. Tahukah kamu jika kecoak adalah serangga yang mampu memproduksi antibiotik alami untuk membuat kita tahan dari berbagai jenis bakteri? Nah, ini salah satu contohnya.

Selain itu, tidak membunuh kecoak juga melatih diri agar tidak mudah marah dan emosi. Saya bisa membayangkan ekspresi mama. Takut, kesal, marah, bercampur menjadi satu. Kasihan mama, dia sudah tua, nanti bisa jatuh sakit.

Itulah yang mendasari diriku melarangnya tidak membunuh. Emosi negatif yang ia keluarkan akan sangat berpengaruh buruk terhadap tubuh, perasaan, dan pikirannya.

Jadi, sila pertama Buddhisme mengajarkan kita untuk melihat segala sesuatu dari dua sisi yang berbeda. Dalam hal ini, 1) tidak membunuh kecoak dan serangga lainnya adalah untuk menghormati kehidupan dan 2) melatih diri agar tidak mudah emosi.

Ini belum termasuk karma baik yang bisa kita panen. Siapa tahu dalam bentuk usia panjang. Saddhu, Saddhu, Saddhu.

Makanya mama lantas menerima nasehatku, setelah melalui penjelasan panjang kali lebar ini.

Sapu yang sedianya akan beliau gunakan untuk membunuh akhirnya tetap ada. Tidak jadi dipatahkan.

Menurutnya, sapu itu akan tetap ia pakai utuk membersihkan rumah. Sekaligus sebagai simbol untuk menjaga kebersihan hati dari emosi negatif.

Mulai saat itu, setiap kali ada kecoak, mama selalu bersuka cita. Sapu ia gunakan untuk menggiring kecoak keluar dari rumah.

"Hati-hati di jalan ya, Kecoak. Jangan nakal ya! Semoga engkau berusia panjang dan semoga Seluruh Mahluk Hidup Berbahagia."

**

Jakarta,25 November 2021

Penulis: Yuliana untuk Grup Penulis Mettasik

ilustrasi pribadi
ilustrasi pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun