Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Mudita, yang Terjebak di Antara Simpati dan Empati

22 November 2021   11:15 Diperbarui: 25 November 2021   05:28 2516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mudita, yang Terjebak di antara Simpati dan Empati (Ilustrasi pribadi)

 

Dalam beberapa kesempatan, saya sering mempromosikan sebuah kata yang (mungkin) masih terasa asing, yakni: Mudita, atau biasanya lengkap: Mudita-Citta.

Istilah Mudita ini memang khusus, sangat sektarian. Hanya sering terdengar dari filsafat Buddhism. Artinya; perasaan bahagia melihat kebahagiaan orang lain.

Tapi, yang membuat kata ini menarik adalah karena padanannya yang membingungkan.

Mungkin ada sukacita. Tapi, berdasarkan KBBI, artinya adalah; suka hati; girang hati; kegirangan. Tidak melambangkan arti lengkap dari mudita-citta.

Atau bisa juga simpati. Istilah ini mungkin lebih tepat. Versi KBBI-nya adalah: rasa kasih; rasa senang. Sementara bersimpati adalah; keikutsertaan merasakan perasaan orang lain. Bisa jadi ini adalah padanan kata yang lebih tepat.

Istilah lain yang juga mirip, adalah empati. Dalam KBBI artinya: Keadaan mental yang membuat seseorang merasakan perasaan / pikiran yang sama dengan orang lain (atau kelompok lain).

Namun, dalam filsafat Buddhism, Mudita memiliki arti yang lebih luas dari sekadar simpati dan empati.

Mari kita ulik;

Pertama. Saya bersimpati terhadap seseorang yang menyisihkan hartanya bagi kaum dhuafa. Tapi, jika hanya untuk pamer di medsos, mungkin rasa simpati saya berkurang. Untuk kasus ini, ambillah contoh kasus Baim Wong dengan Kakek Suhud.  

Kedua. Saya berempati terhadap seseorang yang baru saja bebas dari penjara. Sebabnya ia adalah nenek Minah yang pernah heboh gegara "mencuri" coklat. Namun, saya tidak berempati kepada Saiful jamil. Ulahnya itu lho. Bikin enek. Jadilah cancel culture namanya. Apa-apa boikot.

Lantas, arti bermudita berada pada posisi yang mana?

Turut berbahagia terhadap Baim Wong, Nenek Minah, Kakek Suhud, dan Saiful Jamil apa pun kondisinya. Itulah Mudita.

Tunggu dulu, ini jelas susah! Tidak mungkin saya bisa turut berbahagia atas perilaku tercoreng. Lagipula, itu salah. Banyak yang tidak bisa mengamininya.

Anda benar, saya bukan orang sok suci penyebar hoax spiritual. Saya adalah orang yang penuh iri, dengki, dengan egoisme tingkat tinggi.

Menemukan sahabat yang sukses, bodo amat! Apalagi jika yang berhasil adalah orang yang kubenci. Boro-boro turut berbahagia, "mampus elu sana," lebih terasa pas!

Apakah saya tidak malu mengakui sifat diriku yang tercela? Tidak, karena ada teori perimbangan. Terimalah fakta jika (terkadang) kamu, kamu, dan kamu juga demikian.

Manusia itu adalah mahluk konflik. Kebahagiaan orang lain harus dijadikan motivasi untuk lebih maju lagi, tanpa harus bermudita-citta kepadanya. Kegagalan orang lain adalah kesedihan kita. Namun, lebih mudah dianggap sebagai kejayaan diri.

Itulah mengapa, saya lebih mudah mengucapkan turut berduka cita. Andaikan Saiful Jamil menutup matanya pada hari ini (hoax), saya pun akan berempati, bersimpati, dan tidak lupa memaafkan segala dosa-dosanya. (Amin).

Tapi, mengakui kebahagiaan orang lain? Tunggu dulu, tergantung wani piro.

Mudita Tidak Terdaftar di KBBI

Bahasa mewakili adab. Sebuah pertanyaan yang cukup menggoda, dan sedikit provokatif. Ternyata, kata Mudita ini tidak terdaftar pada KBBI.

Apakah dengan demikian, bahasa kita hanya mengenal dukacita, sementara mudita-citta tidaklah terlalu penting?

Ada simpati dan empati, namun apakah itu hanya pantas dilakukan kepada sosok yang dihormati? Dalam artian, masih banyak orang "tercela" di dunia ini yang tidak pantas mendapatkannya.

Mungkin! Karena: penghargaan hanya bisa kita berikan kepada seseorang yang se-frekuensi. Itu lebih bermanfaat. Sementara memuji kaum munafik, penjahat, penjilat, dan sejenisnya adalah hal yang tak bertuah. Tidak memiliki manfaat nyata.

Argumen ad populum. Teori argumentasi yang mengambil sebuah kesimpulan yang keliru, bahwa proporsi yang benar adalah yang dipercayai oleh kebanyakan orang. Ini lucu! Padahal kisah penjahat Robin Hood malah menjadi legenda dunia.

Halau-lah paradoks-paradoks pikiran. Apa yang ternilai belum tentu demikian. Anda mungkin benci si Jamil. Tapi, tahukah kamu berapa banyak perbuatan baik yang telah ia lakukan?

Setiap orang seharusnya memiliki dua sisi berbeda dan berbobot sama. Ingatlah teori Yin-yang. Dalam kegelapan ada setitik cerah, dalam terang ada pula setitik noda.

Tibalah saatnya kita bermudita.

Turut berbahagia atas kebahagiaan orang lain. Thus, dalam hal ini manfaat yang diperoleh bisa dirasakan oleh orang lain dan juga diri kita sendiri.

Mudita adalah sebuah pikiran universe. Melambangkan manusia dan alam dalam satu kesatuan.

Turut berbahagia kepada para pemenang akan menumbuhkan sikap sportif dari diri. Turut bersuka cita kepada yang sukses, adalah mereka yang berhati besar. Turut bergembira kepada setiap orang, adalah juara sesungguhnya.

Yang terpenting, sikap Mudita akan membantu kita untuk mencabut salah dua akar kejahatan yang paling bengis, yakni: iri hati dan kedengkian.

Berlatihlah Mudita. Bukankah itu bermanfaat? Sembari menunggu, semoga suatu saat nanti kata Mudita akan muncul di KBBI. Dengan demikian kita akan lebih mengenalnya dari sisi bahasa dan juga asa.

**

Makassar, 22 Nov 2021

Penulis: Rudy Gunawan untuk Grup Penulis Mettasik. 

ilustrasi pribadi
ilustrasi pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun