Mohon tunggu...
Grischa Jovamka
Grischa Jovamka Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang mahasiswi

Hello everybody!!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pentingnya Budaya Risiko terhadap Kemungkinan Naiknya Kembali Kasus COVID-19

18 September 2021   16:14 Diperbarui: 18 September 2021   16:33 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah dua bulan lalu dalam kondisi yang gawat, kini jumlah kasus COVID-19 di Indonesia menurun. Oleh negara tetangga, pemerintah dianggap berhasil dalam mengendalikan kasus COVID-19 yang sempat mengkhawatirkan. Namun, ditengah melandainya kasus COVID-19, apakah ada kemungkinan kasus tersebut akan naik kembali? Tentu saja ya, sebelum membahas kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi, ada baiknya kita mengetahui lebih dalam tentang budaya risiko yang berkaitan erat dengan kemungkinan-kemungkinan tersebut.

Budaya risiko sendiri adalah istilah yang menggambarkan sistem nilai dan perilaku di suatu organisasi dalam bentuk pengambilan keputusan terkait deangan risiko. Di dalam suatu organisasi, meski sudah sepenuhnya sadar telah  menjalani menejemen risiko, tapi semua itu hanya bisa berjalan jika ada komitmen dari semua pihak.  Perilaku etis merupakan komponen utama dari budaya risiko agar penerapannya meenjadi kuat dan efektif. Proses membentuk budaya risiko sendiri ialah:

  • Melakukan evaluasi budaya risiko saat ini
  • Dampak perubahan budaya bagi perusahaan
  • Meningkatkan budaya risiko di perusahaan
  • Rencanakan dan implementasikan perubahan budaya
  • Monitor dan siap untuk perubahan yang lebih baik

Meski kasus dari COVID-19 ini sendiri terpantau menurun, masih ada bahaya laten lainnya yang mengancam, seperti abai protokol kesehatan oleh kalangan umum dan juga varian MU yang masih mengancam. Pemerintah mewaspadai berulangnya lonjakan jumlah kasus COVID-19 di pulau Jawa dan Bali, ancaman ini didasari temuan banyaknya orang terinfeksi virus corona dan kontak erat dengan pasien COVID-19 beraktivitas di area publik. Berdasarkan data dari ­hasil pelacakan aplikasi peduli lindungi, sebanyak 3.830 orang terlacak melakukan aktivitas di ruang publik, dimana mayoritas dari mereka didapati berada di pulau Jawa dan juga Bali.

Tingkat kasus positif yang menunjukan penurunan tampaknya tida akan bertahan lama, meski sebelumnya pemerintah telah berusaha semaksimal mungkin menekan angka kasus dan menetapkan kebijakan-kebijakan. Seperti yang telah dijelaskan, dalam budaya risiko harus adanya komitmen dari berbagai pihak. Dapat dikatakan, penerapan budaya risiko sendiri akan berjalan dengan baik jika:

  • Adanya konsistensi dari pimpinan dan manajemen senior terkait dengan mengambil dan menghindari risiko
  • Adanya komitemen terhadap prinsip-prinsip etika
  • Secara umum dapat diterima
  • Transparan dan informasi risiko tepat waktu baik keatas ataupun kebawah organisas

Jika risk owner, disini pemerintah, sudah tahu, sadar, mampu dan mau berkomitmen melakukan manajemen risiko, maka perlu dilakukan sosialisasi (manfaat dan bahaya tidak menerapkan menajemen risiko) kepada, pada pembahasan kali ini, para warga. Sebelum menetapkan kebijakan yang ada, di awal masa pandemi, pemerintah sudah memberikan pengertian akan budayakepatuhan kepada aturan-aturan, etika, tata tertib. Namun, belum ada sanksi yang diberikan pemerintah atas tindakan warga yang mungkin menyalahi aturan maupun tata tertib yang telah disampaikan terkait menjaga kesehtana di masa pandemi COVID-19, hal ini yang juga mempengaruhi perilaku dari para wargafm. 

Sejak sebulan diluncurkan, sudah terdapat 29 juta warga yang melakukan check-in dengan aplikasi peduli lindungi, tetapi ada 3.830 orang yang masuk kategori hitam, yang artinya positif COVID-19 namun masih beraktivitas di luar, diantaranya ada 3000 orang yang masih mengunjungi mall, 43 orang pergi ke bandara, 63 orang menggunakan fasilitas kereta api, 55 orang mengunjungi restauran, padahal orang-orang ini sudah teridentifikasi positif COVID-19 yang harusnya tetap berada di rumah atau diisolasi terpusat (dikarantina).  Sementara itu, Kemenko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan menyebut pemerintah akan menindak orang yang masuk dalam kriteria hitam yang masih berusaha melakukan aktivitas di area publik, memberikan efek jera bagi masyarakat yang sengaja abai agar dapat memutus mata rantai penyebaran COVID-19 di tanah air.

5eba4e8c354ac-6145b19906310e26f21824a7.jpeg
5eba4e8c354ac-6145b19906310e26f21824a7.jpeg
Jika dibandingkan puncak kedua pada Juli, apakah faktor penurunan betul karena adanya vaksinasi? Jika membicarakan soal vaksinasi, hingga 15 September 2021, vaksinasi dosis kedua baru sekitar 42 juta orang atau sekitar 20,63% dan dosis pertama sekitar 75 juta atau sekitar 36,08% dari target 208 juta orang. Seberapa signifikan pengaruh vaksinasi ini kepada menurunnya kasus COVID-19 hingga 88,9% dibandingkan puncak kedua.

Namun kenyataannya, penyebab dari penurunan kasus ini adalah multi faktor. Karena kepatuhan warga terhadap kebijakan pemerintah dalam penanganan COVID-19 yaitu menjalankan protokol kesehatan, membatasi mobilitas, dan juga program pemerintah dalam 3M dan 3T, sehingga warga tahu besaran masalahnya dan juga program vaksinasi juga yang didorong dengan pesat di berbagai daerah, tentunya itu semua berkontribusi dalam penurunan kasus selama hampir dua bulan ini.

Kebijakan untuk pengendalian COVID-19 itu ada tiga hal. Satu adalah 3M atau protokol kesehatan, yang kedua adalah 3T, kemudian yang ketiga adalah vaksinasi, masing-masing berkontribusi dan tidak berdiri sendiri, maka dari itu vaksinasi yang meningkat yang lebih baik pasti akan berkontribusi terhadap penurunan kasus tersebut.

Tiga hal yang saling melengkapi, vaksinasi memiliki efek pasti tetapi seberapa besar efeknya belum tentu 100% kan karena cafenya atau cakupannya belum tinggi, masyarakat yang terinfeksi juga cukup banyak namun belum cukup untuk membentuk herd imunity yang protektif terhadap masyarakat, yang sebelumnya diprediksi terjadi akibat infeksi alamiah dan bukan karena vaksinasi. Tidak mungkin hanya dari vaksinasi bisa melindungi masyarakat secara lengkap.

Pemerintah sudah berusaha semaksimal mungkin dengan menjalankan tiga hal yang sudah terus menerus diangkat sebagai tameng proteksi, tidak hanya fokus kepada satu hal, dimana hal yang paling utama adalah 3M. Soal vaksinasi hingga 12 September 2021 terdapat empat provinsi yang cakupan vaksinasi nya berada di bawah 20% yaitu Lampung, Sumatera Barat, Maluku Utara da juga Papua. Untuk mengakselerasi nya, pemerintah mendorong vaksinasi dengan kuat terutama pada daerah-daerah  yang memang cakupannya masih rendah, maka  dari itu ada bantuan juga dari TNI Polri untuk bisa mendorong program vaksinasi sampai ke pelosok-pelosok, dan dengan bekerjasama dengan pimpinan daerah terutama pimpinan  kabupaten kota, agar mendapatkan suplai vaksin yang cukup sehingga proses vaksinasi bisa berjalan lebih lancar, lebih cepat, sehingga cakupannya juga tidak meningkat lebih besar, dan itu tentu juga kerjasama dengan pimpinan di provinsi, gubernur, agar vaksinasi yang ada di level provinsi betul-betul cepat disalurkan ke kabupaten kota sehingga cakupannya bisa meningkat drastis.

Merujuk pernyataan dari Menkom, Luhut Binsar Panjaitan, yang menyatakan bahwa penurunan level PPKM di Jawa-Bali menyebabkan masyarakat euforia berlebihan yang mulai abai protokol kesehatan lagi, dapat dikatakan bahwa warga ada makhluk yang dinamis. Seorang manusia tentu tidak dapat 100% dibatasi, tidak pergi kemana-mana, mereka mempunyai aktivitas sosial ekonomi yang merupakan bagian dari kehidupannya. Proses pembatasan kegiatan masyarakat itu merupakan langkah untuk menekan penularan, tetapi para warga juga harus bisa berkegiatan sosial-ekonomi. Bagaimana caranya? Secara perlahan, jangan sampai kegiatannya terlalu cepat lalu menimbulkan penularan, kegiatan warga tidak dapat hanya diartikan sebagai euforia semata.

menko-marves-luhut-binsar-pandjaitan-meminta-jangan-ada-kerumunan-lagi-6145b1870101900234180872.jpg
menko-marves-luhut-binsar-pandjaitan-meminta-jangan-ada-kerumunan-lagi-6145b1870101900234180872.jpg
Namun, para warga harus bisa mengendalikan diri bersama dengan pemerintah sehingga betul-betul kegiatannya itu produktif namun tetap aman dari penularan virus COVID-19, inilah yang diharapkan dari penekanan dan pengetahuan akan budaya risiko yang ada. Untuk tahu produktif aman COVI-19, diadakanlah level 1, 2,3, 4, sehingga sesuai dengan laju penularannya. Pemeintah juga harus mengurangi dan membatasi aktivitas warga jika semakin tinggi laju penularannya, otomatis pemerintahharus mengurangi aktivitas lebih banyak.

Produktif namun aman COVID-19, tetapi kalau kita lihat data yang menunjukan adanya 3.800 orang berkeliaran di ruang publik, terbuka juga opsi untuk menindak tegas. Namun menurut pemerintah, proses tersebut perlu diterapkan secara bertahap, hubungan antara pemerintah dan masyarakat harus harmonis dan saling mendukung. Untuk masyarakat yang tahu bahwa dirinya sedang positif jangan beraktivitas di luar rumah, segera melakukan isolasi mandiri atau perawatan, sehingga tidak menular yang lainnya dan segera sembuh supaya bisa beraktivitas dengan baik, dan masyarakat yang punya kontak erat mengetahui dirinya punya kontak erat, juga melakukan karantina, memastikan bahwa dirinya tidak terinfeksi. Kesadaran seperti itu perlu dimiliki oleh masyarakat, apabila pemerintah sudah melakukan banyak penangan serta kebijakan dan masyarakat yang sedang sakit atau punya kontak erat tetap berpergian ke tempat umum, maka tindakan pemerintah akan terasa cukup sia-sia. Karena itu, pemerintah akan mengingatkan warga dan pasti akan menegakkan akhirnya apabila itu terus terjadi, sehingga bisa disimpulkan bahwa hal ini merupakan suatu proses supaya kesadaran dimiliki oleh kedua belah pihak, yaitu pemerintah dan masyarakat.

Kesadaran harus dimiliki kedua belah pihak, tetapi artinya masih dilevel mengingatkan, belum akan ada upaya menindak tegas. Sebagai masyarakat yang abai protokol kesehatan, sudah tahu kontak erat atau positif namun masih berkeliaran di ruang publik, pemerintah tidak bisa langsung menindak tegas karena masyarakat berkemungkinan belum tentu tahu tentang aturan ini, sehingga diperlukan suatu proses untuk masyarakatnya tahu tentang kondisinya, konsekuensinya. Lain skenarion, tidak terlepas dari kemungkinan bahwa beberapa warga tahu mengenai segala aturan terkait COVID-19 namun tidak tahu harus melakukan apa. Jadi ini adalah proses edukasi (sosialisasi) yang harus berjalan bersamaan, tetapi pemerintah juga tidak boleh lambat dalam penanganan atau melakukan tindakan karena penularan juga bisa cepat terjadi. Diperlukan kerjasama, menangani COVID-19 bukan hanya tugas pemerintahs saja, bukan hanya tugas masyarakat saja, namun semua komponen bangsa harus memiliki etika dalam budaya risiko yang ada, bekerjasama, gotong royong saling mengisi. Krena hal ini akan menyelamatkan semua warga Indonesia, bukan hanya masyarakat, namun juga pemerintah, sehingga dapat bekerja bersama-sama untuk menjalankan kehidupan sosial ekonomi yang baik.

Perlu kesadaran bersama, ancaman varian baru, varian MU yang sudah terdeteksi di 48 negara. Update terkini soal hal tersebut adalah varian MU belum ditemukan di Indonesia, namun perlu diingatkan bahwa kebijakan di Indonesia ini berlapis, menjaga dengan membatasi perjalanan internasional dan membatasi perjalanan dalam negeri. Pemerintah memiliki kebijakan PPKM micro, adanya satgas posko di tingkat kelurahan desa yang fungsinya juga sebagai upaya pencegahan, penanganan, pembelaan dan pendukung, selain itu ada juga kebijakan untuk satgas prokes 3M di fasilitas publik, sekolah, pabrik, dan seterusnya. Dengan keadaan seperti itu, apapun variannya, selama semua warga ketat 3M, varian MU yang ditakutkan tidak akan mempunyai ruang untuk menularkan. Namun, jika terdapat titik lengah di dalem lapisan kebijakan itu yang tidak didukung oleh masyarakat atau tidak dijalankan oleh masyarakat semuanya, tentunya akan rusak apapun variannya, varian yang tidak berbahaya pun pasti akan membahayakan warga karena diberi kesempatan untuk menular dan varian-varian baru bisa muncul karena adanya penularan.

5fd1fc26e5ccc813828328-6145b26c06310e5ea1188573.jpeg
5fd1fc26e5ccc813828328-6145b26c06310e5ea1188573.jpeg
Langkah strategis telah disiapkan pemerintah untuk mengantisipasi varian MU, termasuk kebijakan pembatasan perjalanan internasional, jika kebijakan itu dijalankan dengan ketat, importasi kasus atau varian baru ke Indonesia, potensinya hampir nol atau bahkan nol jika pemerintah betul-betul tegas dan masyarakatnya juga patuh, sehingga dengan menjalankan kebijakan satu saja sudah mengurangi probabilitas. Masih terdapat lapisan berikutnya karena kebijakannya berlapis. Perjalanan dalam negeri juga dibatasi, sehingga jika diandaikan masuk pada 1 titik entry, kemudian warga lakukan karantina dengan baik, kasus akan selesai hingga disana. Jika sampai tidak terjadi dengan baik, maka potensi menyebar ke daerah lain, jika menyebar ke daerah lain, potensinya akan tercegat juga oleh pengetesan perjalanan dalam negeri. Jika lapisan tersebut sampai mengalami kerusakan juga, penularan hingga ke suatu daerah, di situ ada PPKM mikro, ada satgas kelurahan desa yang dapat mendeteksi jika terjadi penularan. Kebijakan berlapis, pembatasan perjalanan, PPKM mikro dan juga prokes ketat merupakan kunci dari semua ini. Warga juga harus bisa memastikan dirinya gara tetap taat akan tata tertib yang berlaku, prokes dan lainnya, karena dalam budaya risiko sendiri juga diperlukan komitmen dari semua pihak untuk mencapai tujuan dan sukses mengimplementasi manajemen risiko.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun