Mohon tunggu...
Grin Rayi Prihandini
Grin Rayi Prihandini Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul

Psikologi Perkembangan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pernikahan Orang Tua sebagai Prediktor Kesehatan Mental Anak

31 Agustus 2024   17:43 Diperbarui: 31 Agustus 2024   17:45 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini banyak sekali isu perselingkuhan dan KDRT yang muncul di media. Berita tersebut seolah mengalami peningkatan, yang mungkin saja sebenarnya terkuak karena diiringi dengan canggihnya teknologi dan masifnya penyebaran berita di zaman ini. Pada beberapa media sosial, banyak komentar yang muncul, bahkan hingga muncul pernyataan "marriage is scary" yang ramai diperbincangkan. Menyedihkan sekali, karena sebenarnya sejatinya pernikahan seharusnya menjadi rumah yang menaungi setiap anggotanya agar merasa aman, justru menjadi hal yang menakutkan. 

Melihat dari sudut pandang psikologi perkembangan, pernikahan merupakan salah satu wujud dari tugas perkembangan dewasa awal untuk menjalin intimasi dengan pasangan. Nantinya tugas perkembangan akan perlahan menjadi mendidik dan membimbing keturunan atau generasi selanjutnya. 

Ketika sudah memasuki pernikahan, tentunya dua orang yang terlibat mulai mencoba untuk saling memahami satu sama lain sebagai partner. Namun, pada kenyataannya banyak sekali kondisi dimana hal tersebut tidak bisa diusahakan, sehingga muncul konflik. Konflik ini jika tidak diselesaikan akan membuat banyaknya konflik-konflik lainnya. 

Pada pernikahan yang sudah dianugerahi anak, orang tua seringkali merasa bahwa pernikahan harus dipertahankan demi anak. Padahal menurut Matt Hirshberg, seorang peneliti dan psikolog, kesehatan mental anak dipengaruhi oleh kebahagiaan orang tuanya (Hirsberg, 2024). Menurutnya, orang tua perlu jujur dengan kondisi well-being  nya dan mengkomunikasikan dengan cara yang sehat kepada anak terkait tantangan yang dihadapi. 

Hal ini tentunya berbeda dengan banyak anggapan yang menyatakan bahwa anak tidak perlu tahu kondisi yang terjadi dengan hubungan dan rumah tangga orang tuanya. Konflik yang dialami orang tua seringkali dicoba untuk ditutupi agar tidak dilihat anak, walaupun seringkali anak justru menyaksikan hal tersebut. Pada akhirnya, anak sebenarnya tahu apa yang terjadi dan melihat bahwa ada yang tidak baik dalam hubungan orang tuanya. 

Anggapan mengenai pernikahan sebagai sesuatu yang menyeramkan di media membuat banyak anak yang kemudian takut juga untuk menikah. Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan dari orang tua bisa memengaruhi bagaimana anak dalam melihat pernikahan. Hal ini karena semakin dewasa seorang anak, mereka cenderung meniru hubungan yang relatif mitip dengan apa yang dilihat dari orang tuanya (Schwartz, 2024). 

Membuat anak hidup dengan kondisi pernikahan yang tidak baik dapat membuat mereka justru bingung terkait konsep hubungan dan kebahagiaan. Hal ini tidak jarang membuat anak justru mencari pelarian di lingkungan sosialnya dan beberapa hingga terjebak dalam kehidupan sosial yang tidak sehat. 

Kualitas pernikahan orang tua sebenarnya kembali pada bagaimana kedua pihak dalam mengelola stres dan berkomunikasi. Ketika salah satu atau bahkan keduanya sedang merasa stres, kemampuan untuk bisa bersikap hangat kepada anak maupun pasangan menjadi menurun. 

Semakin tinggi stres yang dirasakan maka semakin besar kemungkinan adanya konflik hubungan dalam pernikahan. Hal ini bukan hanya menjadi masalah bagi pasangan, melainkan berkaitan dengan masalah perilaku dan emosional pada anak (Miller, 2023). 

Sebuah pendekatan yang bisa dilakukan adalah sadari peran kamu sebagai individu, pasangan, dan orang tua. Peran tersebut perlu porsinya masing-masing untuk dipenuhi. Terkadang, kita lupa untuk memenuhi salah satu peran sehingga ada stres dan konflik yang berangkat dari kebutuhan yang hilang itu. 

Kita sebagai individu yang memiiki well-being yang baik akan membuat kita bisa menjalani peran sebagai pasangan dan orang tua yang lebih hangat. Jangan sampai peran kita membuat kita kehilangan diri kita sendiri dan kemudian melampiaskan emosinya ke pasangan dan anak-anak kita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun