Sebagaimana kita juga secara sadar meletakkan pembatas yang menghalangi diri kita dari melukai orang lain. Jangankan melukai fisik, mengata-ngatai saja kita dilarang.
Â
Selanjutnya, karena batasan batasan yang kita terapkan atas diri itu tidak ada yang mensupervisinya melainkan diri kita, maka sesungguhnya puasa itu, menggunakan istilah Imam AlGhazali, bersifat rahasia.
Karena kerahasiaan itu, puasa sesungguhnya bersifat ke dalam. Dalam puasa kita masuk untuk melihat ruang dalam diri kita. Di dalamnya hanya ada kesendirian dan kesunyian. Persis seperti kesendirian Nabi saat menerima tuntunan suci. Persis seperti refleksi diri saat i'tikaf.
Maka jika ada yang bisa kita pelajari dari Ramadhan tahun lalu, itu adalah sisi ini. Bahwa mungkin  kita perlu sejenak melihat Ramadhan yang masih dalam suasana pandemi saat ini, dari dalam diri kita. Dengan hakikatnya yang sendiri dan sunyi itu. Diri kita latih, mumpung ada momennya, untuk sementara, jauh dari nuansa festival dan selebrasi. Seperti pada ramadhan-ramadhan yang lampau.
Bersahabat dengan kesendirian dan kesunyian membantu kita melakukan refleksi diri. Jika tidak, minimal ia membuat kita betah untuk mengurangi interaksi dengan sesama di masa pandemi ini. Seperti bunyi sebuah hadis, muslim itu adalah sesiapa yang orang selamat dari akibat perbuatannya dan kata-katanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H