Hujan sudah reda, tapi belum selesai. Wanita itu, kira-kira hampir tiga puluh, masih di situ. Ia berdiri, bersandar ke tembok ruko yang sedang tutup.Â
Matanya mengawasi orang-orang yang sedang berbelanja.  Di sebelahnya, di  emperan  ruko berjejer jualannya: buah langsat. Langsat-langsat itu diletakkan di keranjang plastik kecil. Diatur berjejer seperti penataan buah pada upacara  pemakaman atau peringatan kematian dalam budaya korea.
Saya, tidak bisa tidak, menduga-duga apakah ekspresinya itu mewakili jualannya yang masih utuh itu. Sebab, kira-kira lewat ekspresinya itu dia mau bilang bahwa belum ada orang yang beli satu keranjangpun.
Saya meyakinkan diri mungkin itu hanya perasaan saya saja. Mencoba melawan pengetahuan saya bahwa orang-orang masih puasa dan langsat jarang dipilih orang sebagai menu buka.Â
Juga pengetahuan saya bahwa di daerah saya ini hampir setiap rumah  punya pohon langsat sendiri. Kalaupun ada yang memilih menjadikan langsat sebagai menu buka, mereka tidak perlu membeli.
Pikiran saya langsung melompat: Apakah perempuan ini dapat THR? Siapa yang mengurusi THR pekerja informal seperti ini? THR itu tunjangan. Tunjangan itu tambahan untuk yang pokok dan tetap. Apa mungkin menerima tambahan untuk yang pokoknya tidak ada dan tidak tetap?
Saya bersyukur. Sebab walau berstatus sebagai pegawai pemerintah  non pegawai pemerintah alias honorer, gaji saya tetap setiap bulannya.
Tapi setelah saya pikir-pikir, saya jadi bertanya-tanya : dalam darurat pandemi seperti ini berapa lama yang tetap itu akan tetap?
Pemerintah menerima pemasukan dari pajak. Pajak dibayarkan oleh rakyat.
Untuk mencegah penularan rakyat diharuskan untuk tinggal di rumah. Tinggalnya rakyat di rumah menurunkan pemasukan. Dan dengan sendirinya menurunkan pemasukan ke negara.Â
Di waktu yang sama negara harus terus  beroperasi dengan terus mengeluarkan biaya. Yang masuk semakin sedikit yang keluar jalan terus. Defisit. Bukti paling nyata dari defisit itu bukankah adalah tidak adanya THR bagi para pejabat negara?
Saat ini baru THR, tapi jika defisit memburuk pemotongan gaji dapat terjadi sebagaimana yang berlaku di Yunani. Saat ini baru para pejabat di atas. Tapi jika defisit memburuk maka yang akan terkena juga pasti  pegawai di level --meminjam istilah Dahlan Iskan-Asfala Safilin, paling bawah.
Tentu ini logika awam. Semoga tidak demikian.
The point is  tidak ada pekerjaan yang pasti. Keliru menganggap bahwa pekerjaan di sektor formal tidak lebih rentan dari pekerja  informal seperti perempuan di atas. Covid -19 mengumpulkan kita semua dalam satu kardus dan melabelinya "Fragile. Barang pecah. Jangan dibanting!"
Dalam situasi normal kebanyakan dari kita menganggap bahwa para pekerja informal hanyalah ekstensi dari kegiatan ekonomi yang ada. Dan karena itu meski kita pelanggan abang siomay depan kantor, kita punya pandangan miring terhadapnya. Miring maksudnya tidak dalam bentuk ujaran merendahkan atau sikap kasar. Tapi dalam bentuk asumsi bahwa kegiatan perdagangannya itu tidak punya nilai tambah apa-apa dalam peta besar ekonomi kita.
Perempuan penjual langsat tadi mungkin tidak menyetorkan pajak ke negara.  Secara langsung. Tapi dia dan banyak orang lainnya yang berada pada katagori pekerjaan yang sama, merekalah yang mengkonsumsi tak kresek. Membuat bos manufaktur tas kresek meraup untung dan karenanya mampu menyetorkan pajak ke negara. Akumulasi setoran itu dan setoran lainnya mengalir ke para pekerja formal, lewat gaji dan tunjangan, suntikan  ke BUMN atau proyek-proyek negara yang tendernya dimenangkan oleh swasta.
Ini menunjukan bahwa tidak saja  kita semua baik yang bekerja sektor formal maupun informal  sangat rentan. Tapi juga bahwa semua orang ada dalam satu perahu terikat dengan tali.  Pegawai, penjual langsat, bos manufaktur, tukang bakso. Semuanya. Kalau satu jatuh masuk ke dalam air maka yang lain sebenarnya sedang mengantri untuk ikut masuk ke dalamnya. Itu salah satu pilihannya. Atau  pegang talinya, cegah mereka  jangan sampai jatuh. Minimal demi alasan pragmatis, yaitu agar  tidak ikut bersama mereka.
New normal sudah digaungkan bagi para PNS. Bentuknya jaga jarak, penggunaan masker, digitalisasi pertemuan dan pekerjaan. Besar kemungkinan  ini jugalah new normal bagi pekerja sektor formal lainnya.
Bagaimana dengan new normal untuk mereka, para pekerja informal?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H