Mohon tunggu...
Greta Kharisma Ardiyanti
Greta Kharisma Ardiyanti Mohon Tunggu... lainnya -

A Dreamer and A Believer. English Studies Program 2012. A Poetess. An Observer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Copy- Paste, Sebuah Mata Rantai

31 Juli 2012   08:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:24 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada sebuah toko di stasiun UI. Jika kamu berjalan dari arah halte stasiun UI, untuk menuju toko tersebut,  kamu harus belok kanan melewati lorong toilet dan barisan beberapa lapak penjual buku dan alat-alat tulis di sebelah kanan lorong, dan akhirnya, tengok kanan tengok kiri, seberangilah rel. Toko tersebut berada tepat di hadapanmu, disebelah penjual flashdisk.

Jika kamu mahasiswa UI, apalagi KOBERers, kamu pasti sudah familiar dengan toko tersebut, sebuah toko yang dihiasi dengan tas ransel, goodie bag, tas charger dan beberapa barang lainnya. Ketika berjalan menuju jalan raya Margonda, entah kenapa mata saya dengan refleks tas-tas yang digantung di paling depan yang seolah-olah memanggil-mangil untuk berkunjung.

Mereka adalah tas-tas yang unik , didominasi warna  hitam yang dikombinasikan dengan warna-warna cerah. Yang paling membanggakan adalah, sablon desain tas-tas tersebut adalah tentang lingkungan. Desainny apun sangat variatif, ada yang mengimbau untuk membuat sampah pada tempatnya, ada yang mengimbau untuk menyelamatkan pohon, dan imbauan-imbauan cinta lingkungan lainnya. Animasi sablonnya pun khas dan kreatif. Menarik.

Menarik, menarik saya untuk berkunjung menyapa mereka hari ini. Bukan karena konsumtif, tapi karena kali ini saya memang membutuhkan satu goodie bag. Wow, desain sablonnya sangat inovatif—tidak melulu tulisan, tapi gambar. Komunikasi visualnya tersampaikan dengan baik. Saya pun melihat-lihat goodie bag yang digantung di langit-langit. Ada yang berbeda dengan produk tersebut, merek. Ya, seingat saya sejak saya menjadi mahasiswa baru, produk tersebut belum memiliki merek. Mereknya adalah “bloomingearth.com”.Kemajuan, pikirku.

Akhirnya saya memilih satu goodie bag dan bercakap-cakap dengan penjualnya, seorang laki-laki yang berasal dari Jakarta. Berikut percakapan kami.

“Wah sekarang ada mereknya ya bang”, kataku.

“Iya mbak, soalnya kalo ga gitu banyak yang niru. Pernah dulu waktu belum ada mereknya difoto orang kan jualan saya. Eh habis itu tiba-tiba ditiru sama Strobe**. Habis itu saya bilangin tu sama produsennya buat dibikinin hak cipta. Akhirnya sekarang ada mereknya. Biar lebih aman mbak”, jawabnya.

***

Kisah di atas hanyalah sekelumit dari potongan yang lebih besar. Pelanggaran hak cipta adalah sebuah fenomena pencurian ide intelektual yang marak terjadi di seluruh penjuru dunia. Bentuk pencurian ini pun bervariasi tergantung bidangnya. Kisah di atas merupakan contoh pencurian hak intelektual di bidang kreativitas. Di ranah budaya, pengakuan Malaysia atas beberapa kebudayaan Indonesia merupakan sebuah contoh nyata pencurian budaya. Di kalangan kita, mahasiswa, pencurian hak cipta lebih populer dengan sebutan “Plagiarisme”. Lebih mengerucut lagi, mencontek, hal yang biasa dilakukan pelajar zaman sekarang, termasuk pencurian hak cipta/ ide/ kreativitas dalam menjawab pertanyaan.

Lantas, kenapa fenomena ini marak terjadi? Apakah pada hakikatnya manusia memang suka meniru orang lain? Secara psikologis, dalam masa awal perkembangannya manusia memang meniru orang-orang di sekitarnya. Namun, apakah ini menjadikan manusia berbudaya meniru? Ada banyak faktor yang melatarbelakangi hal ini. Bisa jadi kebudayaan dicuri karena memang pemerintah setempat tidak menaruh perhatian yang besar terhadap kebudayaan tersebut. Bisa jadi plagiarisme dilakukan karena mahasiswa tersebut tidak mengetahui bahwa itu dilarang. Bisa jadi seorang siswa mencontek karena takut dipukuli orang tuanya ketika nilai ulangannya jelek. Dibalik semua itu, hanya ada satu alasan yang jelas : degradasi moral.

Bangsa yang bermoral ialah bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai dasar yang berlaku di masyarakat seperti : jujur, sabar, tenggang rasa, bertanggung jawab dll. Nyatanya, pelanggaran nilai-nilai dasar terjadi dimana-mana. Tindak kriminalitas meningkat, kesenjangan sosial melebar, individualisme merajalela.

Pencurian hak cipta hanyalah sebuah mata rantai dari lingkaran belenggu yang lebih besar. Karena sebagaimana kebohongan yang membutuhkan kebohongan-kebohongan lain untuk menutupinya, satu pelanggaran nilai membutuhkan pelanggaran nilai- nilai yang lain untuk melengkapinya.

Apa solusinya??? Jadilah individu yang berkarakter lalu sebarkan karakter yang kamu miliki kepada orang-orang di sekitarmu. P Tidak hanya melalui kata-kata tetapi juga melalui tindakan. Karena “actions speak louder than words.” Bukankah terkadang kamu lebih tersentil melihat orang yang memungut sampah di lantai dan kemudian membuangnya di tempat sampah daripada sekedar membaca tulisan "Buanglah Sampah Pada Tempatnya" ? Karena seperti kata orang, segala sesuatu dimulai dari diri sendiri. Banyak orang yang bermimpi mengubah Indonesia, bahkan mengubah dunia tapi mereka malas untuk mengubah diri mereka sendiri. Jadi, jika ditanya kenapa Indonesia masih seperti ini? Apa jawabanmu?


Depok, 31 Juli 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun