Sebagaimana thread yang kutulis di facebook, "jika aku dapat nilai yang bisa untuk apply ke kampus luar negeri, maka aku akan buat tulisan tentang pengalaman panjangku belajar Bahasa inggris", sore ini saat langit mendung di Jogja, kumulai menuliskan kisah sebagai penunai janji itu. Izinkan kumemutar sejenak jarum waktu, sekian sekitar 15 tahun yang lalu. Ketika aku masih berada di bangku kelas 3 SMA. Setelah hanya menjadi siswa dengan peringkat rapor 5 ke bawah di kelas 1 dan 2, akhirnya aku bisa nangkring di peringkat 2 kelas 3 jurusan IPS. Semua nilaiku 8-9. Cuma ada satu mata pelajaran yang membuatku selama 3 catur wulan tidak bisa mengalahkan Sang Juara 1. Tiga kali menerima rapor, nilai Bahasa Inggrisku selalu mentok di angka 6. Itupun sudah didongkrak oleh Guru Wali Kelasku setelah lobi-lobi dengan Guru Bahasa Inggris. Karena lucu kalau juara kelas punya nilai merah (baca 5) di rapor. Puncak dari itu semua adalah saat Ujian Akhir Nasional, nilai 4,00 tersenyum kepadaku saat ijazah kelulusan SMA diberikan oleh Wali Kelas. Saat itu belum ada peraturan batas minimal nilai kelulusan UAN. Sehingga aku masih bisa melenggang lulus SMA. Meskipun dengan nilai Bahasa Inggris yang sangat parah, untuk pertama kalinya aku bisa mengalahkan Sang Juara Kelas IPS karena nilai-nilaiku yang lain bisa dikatakan sangat bagus. Kalau tidak salah, aku menjadi pemegang nilai tertinggi dari seluruh siswa SMA jurusan IPS di kotaku (Kota Solok, Sumatera Barat).
Karena PMDK yang kukirim ke UGM gagal, aku harus segera berangkat ke Ibukota Provinsi Sumatera Barat (Padang) untuk mengikuti Bimbel Persiapan UMPTN. Kala itu aku memilih ikut bimbingan di ADZKIA Jalan Damar. Adzkia ini adalah lembaga pendidikan yang didirikan oleh Prof. Irwan Prayitno (Gubernur Sumatera Barat saat ini). Setiap minggu, ada try-out yang harus kuikuti (hari Ahad). Besoknya, para peserta bimbel sudah mengetahui passing grade yang mereka raih. Di kolom peserta yang mengambil jurusan IPS, namaku selalu nangkring di 5 besar. Tetapi untuk kemampuan dasar yang berisi Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, nilai jeblok. Lagi-lagi keberuntungan menaungiku saat hari H ujian UMPTN. Aku dinyatakan diterima di Jurusan Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Setelah aku analisis, passing yang hampir 40% yang kuraih banyak dibantu oleh raihan Bahasa Indonesia (cuma salah 2 atau 3 dari keseluruhan 25 soal). Matematika dan Bahasa Inggris tak sampai 10 soal yang bisa kujawab benar. Rasanya di tes kemampuan IPS-lah yang mendongkrak passing gradeku sehingga bisa lolos UGM.
Setelah melewati banyak lika-liku dan pergolakan batin yang sangat complicated - mau berhenti kuliah karena masuk pondok pesantren & sempat kuliah S1 kedua di UIN Sunan Kalijaga, dalam jangka waktu 7,5 tahun akhirnya aku bisa menyandang predikat S.Fil (Sarjana Filsafat). Sama seperti happy ending ketika SMA, aku berhasil menjadi lulusan terbaik karena IPK-ku paling tinggi di antara mahasiswa Filsafat yang lulus di Februari 2010. Ijazahku diberikan langsung oleh Rektor UGM (Prof. Soejarwadi). Hanya 18 orang yang menerima ijazah langsung dari Rektor. Mereka adalah perwakilan dan lulusan terbaik masing-masing fakultas yang ada di UGM. Di fakultas, akupun didaulat untuk memberikan Kata Perpisahan mewakili teman-teman wisudawan-wisudawati Fakultas Filsafat.Â
Dengan IPK yang lumayan tinggi, aku kemudian memasukkan lamar kerja di perusahaan-perusahaan bonafid. Salah satunya adalah Lowongan ODP Bank Mandiri. Setelah tahapan seleksi administratif yang berjalan mulus, aku kemudian dipanggil untuk melakukan wawancara pertama. Saat itu ada 2 kandidat lain yang berbarengan denganku dan kami berhadapan dengan seorang Bapak-Bapak. Salam pembuka sudah dimulai dengan Bahasa Inggris. Otakku langsung berpikir, "ini bakalan jadi wawancara Bahasa Inggris..." Benar memang. Kemudian satu per satu kami ditanya dalam Bahasa Inggris. Pas giliranku, entah kenapa lidah ini langsung kelu. Tidak jelas kata-kata yang terucap. Rasanya seperti berada di panggangan api. Aku berkeringat. Padahal ruangannya ber-AC. Menunggu beberapa hari kemudian, tidak ada namaku tertera di daftar pelamar yang lolos seleksi.
Pengalaman memalukan itu kemudian membuatku penasaran, berapa sieh sebenarnya TOEFL yang kumiliki. Akhirnya di sebuah lembaga kursus Bahasa Inggris, aku memberanikan diri ambil tes TOEFL untuk pertama kali seumur hidup. Dengan Pe-De nya kulewati sesi Listening, Structure dan Reading. Pas hasilnya keluar, aku hanya bisa melonggo karena skor TOEFL-like ku hanya 377.Â
Semenjak itulah petualangan panjang belajar Bahasa Inggris dari nol/dasar dimulai. Pertama aku ambil kelas 4 level di Jogja English Dormitory. Meskipun di awal-awal sangat kesulitan karena bahasa vocab dan pola-pola grammar yang harus kuhafal, akhirnya program selama kurang lebih 4 bulan itu bisa kulewati. Akupun mulai pe-de ambil tes TOEFL lagi. Namun, hasil yang kudapatkan cuma 420-an.Â
Dengar-dengar kalau di Pare Kediri bisa meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris secara cepat, akhirnya akupun berangkat sendirian ke Pare. Mendaftar di satu lembaga kursus. Tetapi karena cuaca Pare yang tidak bersahabat sehingga flu dengan menyerangku. Cuma 2 minggu aku berada di Pare. Keumdian kuputuskan untuk mencari lembaga kursus yang bagus saja di Jogja. Karena memang sulit buatku untuk meninggalkan Jogja.Â
Ingatan pada seorang senior satu kontrakan dulu di daerah Pogung yang terkenal di kalangan teman-teman ngaji sebagai jagoan Bahasa Inggris karena mengambil kursus di Sanata Dharma, akhirnya mengantarkanku sebagai mahasiswa D2 English Extention Course Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Sempat juga aku was-was tidak bisa kursus di sana. Seleksinya ketat dan dari 100 soal, minimal pendaftar minimal harus betul di atas 50 soal. Dari cerita teman-teman, ada yang sampai 2-3 kali ikut tes masuk sebelum akhirnya diterima sebagai mahasiswa D2 EEC Sadhar. Seingatku, aku memulai perkuliahan pertama di awal tahun 2011.Â
Selama setahun aku tidak bisa maksimal mengikuti kursus. Karena harus mengikuti berbagai tes kerja di Jakarta. Tapi semuanya gagal, sampai akhirnya aku diterima sebagai Web Editor di CRCS UGM, program Pascasarjana Internasional UGM yang khusus mempelajari Agama dan Budaya. Untung saja boss-ku cukup berbaik hati untuk mengizinkan aku meninggalkan kantor jam 3 sore, sehingga aku masih bisa ambil kelas sore di EEC. Sekedar info, EEC itu memberikan 8 mata kuliah setiap semester. Kelas dimulai jam 2 siang sampai jam 5.40 sore. Ada 2 mata kuliah yang harus diikuti mahasiswa setiap hari. Dan harus datang 4 hari seminggu ke kampus untuk menempuh 16 sks. Karena harus membagi waktu dengan jam kerja kantor hanya 5 mata kuliah bisa ku ambil maksimal. Itupun kadang tidak semuanya kuselesaikan, tersebab aku melanggar aturan 70% kehadiran.Â
Setelah kontrak 1 tahun bekerja di UGM kuselesaikan, aku memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak kerja. Aku kemudian beralih melanjutkan usaha penerbitan buku yang selepas wisuda sudah mulai kurintis. Setelah pamitan baik-baik mulailah aku dengan hari-hari yang berat. Orderan yang datang tidak seperti yang kuharapkan. Sehingga kadang aku terpaksa menelpon Bapak untuk dikirimi uang buat makan. Kalau Bapak lagi kesulitan finansial di kampung, terpaksalah aku minjam uang teman-teman yang sudah bekerja di perusahaan yang bagus-bagus. Beruntungnya waktuku sudah mulai longgar. Jadwal bekerja bisa kuatur sedemikian rupa sehingga aku bisa full mengambil mata kuliah di EEC. Aku mulai menikmati kelas demi kelas dengan dosen-dosen inspiratif. Deretan nilai A dan B menghiasi papan pengumuman selepas ujian semester. Hingga akhirnya aku bisa menyelesaikan semua mata kuliah dengan IPK 3,60 di tahun 2015. EEC juga yang memberikan bekal untukku bisa berangkat ke Jerman untuk mengikuti pameran buku terbesar se-dunia Frankfurt Book Fair 2014. Mengambil beberapa kelas dengan dosen native speaker dari Amerika membuatku pede ketika dimintai teman-teman untuk mendampingi peneliti-peneliti dari Jerman dan Amerika untuk melakukan wawancara dengan beberapa tokoh Islam di Jogja.
Dari tahun 2011 sampai 2015 beberapa kali mengambil test TOEFL. Awalnya beberapa kali ambil TOEFL Like. Dari 420-an selepas mengambil kursus di JED (Jogja English Dormitory), skorku naik menuju 450-an. Tes berikutnya naik jadi 470-an. Di sanalah kemudian rasa percaya diriku muncul untuk mengambil TOEFL ITP yang berbiaya 300-an ribu rupiah. Skor ITP pertama yang kudapat adalah 493. Penasaran karena belum sampai angka 500 (yang kala itu rencananya mau dipakai untuk apply Australia Awards Scholarship), akupun ambil lagi tes ITP kedua hanya dengan mengandalkan belajar mandiri. Alhamdulillah tes kedua bisa dapat 503, tetapi aku gagal seleksi beasiswa AAS. Setelah itu, aku mencoba untuk menaikkan target jadi 550. Kursus TOEFL di P2EB UGM pun kuikuti. Sayang cuma menaikkan skorku menjadi 517.Â