Sebuah ajakan datang dari keluarga untuk menyaksikan dan meliput ritual tolak bala di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Bertempat di Lowolele (Lowo berarti sungai) daerah Olakile, ritual tolak bala kombinasi antara adat dan keagamaan ini bernama Zio Ae. Zio dalam bahasa Nagekeo artinya Mandi, sedangkan Ae adalah Air.
Mandi air, begitu ritual ini bisa disebut dalam Bahasa Indonesia dilakukan di Lowolele, salah satu anak sungai yang bermuara di Lowo Aesesa. Di daerah Mbay tersebut, berdiri salah satu bendungan termegah di Indonesia yang mulai dibangun tahun 2021 dan direncanakan usai akhir 2024 ini, yakni Bendungan Mbay.
Di daerah Boawae, terdapat beberapa "organisasi", begitu mereka sebut, yang bisa melakukan sejumlah ritual dengan kombinasi adat dan agama Katolik. Dikatakan pula oleh beberapa warga, pihak gereja Katolik melalui Paroki-Paroki setempat sudah mengakui adanya prosesi spiritual ini.
Pengalaman kali ini merupakan salah satu dari ritual tolak bala Zio Ae yang dilakukan terhadap sebuah keluarga yang terdiri dari empat orang. Keluarga ini telah melalui beberapa ritual penyembuhan, dan Zio Ae merupakan salah satu penutup keseluruhan proses penyembuhan yang sudah berlangsung sebulan lamanya.
Penyembuhan di sini tidak hanya terkait dengan penyakit yang bisa dinilai secara medis. Ada pula "gejala" yang disampaikan merujuk pada pengalaman spiritual. Diharapkan, dengan Zio Ae, semua penyakit dan marabahaya bisa keluar dari tubuh keluarga ini dan hanyut terbawa aliran air Lowolele.Â
Untuk berikutnya, penulis akan menyebut satu keluarga ini sebagai pasien.
Berangkat Tanpa Boleh Menyambut Sapaan
Dari wilayah Natanage-Boawae, perjalanan iring-iringan delapan motor dan satu mobil pick-up berarah ke Utara menuju Lowolele sekitar 20 kilometer jauhnya. Kami memulai berangkat pada pukul 08.30 WITA, dan diharapkan ritual Zio Ae ini bisa selesai sebelum pukul 15.00 WITA karena alasan tradisi.
Salah satu pesan dari tetua yang memimpin rombongan ini adalah ketika ada yang menyapa di sepanjang perjalanan, dilarang untuk membalas sapaan tersebut.
Kondisi jalan cukup mulus pada jalur utama, namun mulai berbatu saat mendekati wilayah dekat sungai. Akhirnya sekitar 20 menit perjalanan kami sampai di tepi jalan untuk memarkir kendaraan. Perjalanan pun berlanjut menuruni bukit dengan jalan kaki, membawa semua perlengkapan dan kurban yang dibutuhkan.
Restu dari Tetua kepada Keluarga Pasien
Sungai Lowolele terlihat cukup keruh dengan tanah akibat hujan yang sering turun di daerah Nagekeo belakangan. Namun demikian, air terlihat cukup dangkal dengan kedalaman kira-kira maksimal 1.5 meter.
Di bibir sungai yang penuh dengan bebatuan, keluarga pasien menjalani prosesi awal meminta restu kepada tetua dan beberapa keluarga sedarah. Satu per satu mereka berpelukan, dan tangan dari tetua di keluarga itu ditumpangkan sembari membisikkan doa pemberian restu mengikuti ritual Zio Ae.
Selanjutnya kami semua meletakkan barang bawaan di atas bukit, dan mencari tempat rindang untuk menggelar tikar beserta perlengkapan memasak. Jangan diperkirakan kami membawa kompor portable ya, sebab cara memasak di sini masih tradisional menggunakan kayu bakar.
Kurban yang dibawa untuk Ritual Zio Ae kali ini adalah seekor anak babi dan seekor ayam, sesuai "petunjuk" yang didapatkan pada proses penyembuhan beberapa hari sebelumnya.Â
Di titik ini penulis meminta maaf sebelumnya apabila ada pembaca yang kurang berkenan dengan pengorbanan hewan babi hingga mengkonsumsinya.
Api unggun lalu disiapkan di sekitaran bukit, dengan pembatas di keempat sisi kira-kira 3x3 meter luasnya. Pembatas dari dahan pohon ini nantinya akan disandarkan salah satu menu favorit dalam upacara ini, yakni nasi bambu.Â
Bambu dipotong dengan satu sisa terbuka se panjang 50 centimeter. Beras dengan rempah lalu dimasukkan ke dalamnya bersama setakar air. Lalu pada sisi terbuka, kulit bambu disumpalkan untuk menutup ujung bambu tersebut dan disandarkan pada penyangga api unggu hingga masak.
Prosesi Penyembelihan Kurban dan Doa Keluarga
Setelah persiapan memasak usai dilakukan, kami lantas melanjutkan prosesi dengan penyembelihan korban yang di bawa. Pertama adalah anak babi yang dibunuh dengan (mohon maaf) memukulkan parang tepat di batok kepalanya. Darah yang mengalir lalu ditampung dalam satu mangkok wadah.
Berikutnya adalah penyembelihan ayam, yang darahnya juga ditampung di dalam mangkok wadah.
Tetua bersama seorang keluarga sedarah lalu membawa darah itu mendekat ke keluarga pasien. Mereka lalu mengoleskan darah tersebut ke dahi dan punggung kaki masing-masing pasien, sebagai tanda bahwa mereka inilah yang akan menjalani Ritual Zio Ae.
Tetua lalu memimpin untuk memanjatkan doa dalam bahasa Boawae, Nagekeo. Kira-kira doanya adalah meminta restu para leluhur, dengan menyebut satu per satu nama leluhur yang sudah meninggal, guna merestui semua upacara ini.
Telah disebutkan di atas bahwa prosesi ini merupakan kombinasi adat dan Agama Katolik, maka tetua juga menyambung doa dalam Bahasa Indonesia yang disempurnakan dengan Doa Bapa Kami dan Kemuliaan.
Prosesi Spiritual Zio Ae
Kami pun lantas turun ke dekat sungai, namun hanya beberapa orang saja yang boleh mendampingi hingga bibir sungai. Di waktu ini, dokumentasi berupa video maupun foto dilarang oleh moderator upacara hingga usai balik lagi ke bukit nantinya.
Moderator merupakan sebutan penulis sendiri, untuk satu orang yang dari "organisasi" yang sudah disampaikan di awal artikel. Beliau mendapatkan karunia lebih untuk bisa menghubungkan permohonan manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui alam dan dunia roh.Â
Keluarga pasien tersebut datang meminta bantuannya kira-kira sebulan yang lalu, dan kini ia memimpin Ritual Zio Ae untuk menolak bala dan membuang hal buruk dari keluarga tersebut.
Selain moderator dan keempat pasien, ada dua wanita "pager ayu" yang terpilih karena bisa "melihat sesuatu" dalam kurun waktu penyembuhan. Kedua wanita ini kebetulan masih dalam keluarga dekat pasien.Â
Moderator lalu menyuruh salah satu dari empat keluarga lain yang diijinkan ikut, untuk mengupas kelapa serta menyembelih anak ayam. Kelapa tersebut dibawa oleh salah satu keluarga, dan anak ayam ditusukkan di sebuah tingkat bambu bagian atasnya. Tongkat ini lantas ditancapkan di bebatuan tepi sungai sebagai penanda dimulainya ritual.
Kesan spiritual sangat terasa di momen ini. Suara burung yang sebelumnya terdengar, mendadak hilang. Yang tersisa hanya desiran angin di permukaan sungai dan tebing di sisi timur Lowolele.
Moderator menjadi yang pertama masuk ke tengah sungai yang dalamnya hanya mencapai perut orang dewasa. Beliau lalu melakukan ritual dan doa persiapan, hingga memilih tempat yang dirasa paling tepat melakukan Zio Ae. Dalam ganggamannya terlihat seikat daun yang dipergunakan untuk upacara.
Untuk diketahui, lokasi Zio Ae ini bisa berubah-ubah di kawasan sungai Lowolele. Ada keluarga yang menyebut melakukan Zio Ae bulan Juni 2024 lalu di lokasi 100 meter di utara titik moderator kini berdiri.
Lalu pasien pertama dipersilakan mendekat ke arah moderator. Pasien ini masuk ke tengah sungai digandeng oleh dua "pager ayu" yang bertugas.
Menghadap melawan arus air, moderator yang berdiri di belakang pasien lalu menyuruh pasien berdoa dulu sesuai agamanya. Lantas moderator membasahi kepala pasien dengan seikat daun yang dibawanya.
Moderator menyentuh kepala pasien. Sambil mendorong ke bawah, beliau menyuruh bersiap dan dalam tiga tundukan badan hingga pasien dimasukkan ke dalam air sungai sekujur tubuhnya. Dalam hitungan detik, pasien yang terkena terjangan arus sungai mendadak melonjak bahkan melompat.
Sebanyak tiga kali sang pasien dimasukkan ke dalam air sungai Lowolele. Inipun sama dilakukan dengan pasien lainnya secara satu per satu.
Setelah usai Ritual Zio Ae, kami semua dipersilakan naik lagi ke bukit dengan urutan dua "pager ayu", keluarga pasien, dan yang lain mengikuti.
Haru Biru Usai Prosesi dan Ramah Tamah
Keluarga pasien dilarang untuk mengganti bajunya yang basah kuyup hingga sampai di rumah nanti. Lalu moderator menyampaikan agar seluruh pasien bersalaman dengan semua yang ada di lokasi, termasuk penulis.
Di momen inilah, tiba-tiba momen menjadi mengharukan. Keluarga pasien dalam tangisan yang bercampur aduk antara bahagia, merasa lepas, dan berterima kasih atas dukungan kami semua.Â
Meskipun baru pertama bertemu, penulis bisa merasakan bahwa begitu bahagianya sorang pasien jika mendapat kunjungan dan dukungan dari banyak orang untuk proses penyembuhannya. Di titik ini, uang serasa tidak ada harganya dibandingkan dukungan keluarga.
Kamipun melanjutkan proses memasak kurban seekor babi dan seekor ayam, sembari disuguhi ubi bakar yang ternyata sudah dimasukkan di dalam api unggun tadi. Secangkir kopi khas Flores menjadi penyedap hidangan pembuka ini. Ada pula "urap-urap" khas Flores dengan daun pepaya rebus yang uniknya, dijadikan hunjukan tanpa nasi.
Menu utama pun selesai dimasak. Babi yang usai dibakar lalu dicampur dengan parutan kelapa dan rempah dalam lauk yang tenar disebur ra'a rete. Bersama sayur daun singkong dan sambal khas Flores, menu ini terasa segar dengan nasi bambu yang telah masak.
Berpamitan dengan Lowolele dan Tidak Boleh Menoleh Lagi
Upacara ini secara adat harus usai sebelum pukul tiga sore. Tiga puluh menit sebelum waktu tersebut, keempat pasien dengan moderator kembali ke bibir sungai.
Keluarga pasien membasuh kaki, mencuci tangan, dan membuang sisa makanan di sungai Lowolele, sebagai penanda hal negatif telah terlepas semua dari pasien.Â
Menyambut mereka kembali, kami lantas mendaki bukit untuk kembali ke tempat parkir kendaraan di atas jalan. Sebuah pesan dengan jelas terucap dari tetua dan moderator, bahwa kami dilarang menoleh ke belakang lagi hingga sampai di atas.
Alam pun memberikan berkatnya. Kami melanjutkan perjalanan pulang di tengah turunnya hujan di kawasan Nagekeo.Â
Berkumpul lagi di rumah keluarga pasien, kami lalu disambut suguhan sederhana yang diperkaya sesuatu yang penulis jarang lihat di Jawa, kebersamaan.
(NB: Penulis memohon maaf apabila ada penulisan dan intepretasi yang salah dari artikel ini. Semua yang tertuang merupakan sudut pandang awam dengan melakukan beberapa wawancara dengan pihak yang terlibat)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI