Mohon tunggu...
Greg Satria
Greg Satria Mohon Tunggu... Wiraswasta - FOOTBALL ENTHUSIAST. Tulisan lain bisa dibaca di https://www.kliksaja.id/author/33343/Greg-Satria

Learn Anything, Expect Nothing

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Alergi untuk Kolaborasi Itu Basi

2 Agustus 2024   12:01 Diperbarui: 3 Agustus 2024   15:36 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sketsa mengenai kolaborasi. Sumber : www.sloanreview.mit.edu

Kolaborasi itu mudah diucap, tapi susah untuk dipraktekkan. Mau bukti? Coba rekan-rekan Kompasianer ketik di di mesin pencari Kompasiana, akan ada puluhan tulisan dengan keyword "Kolaborasi", dalam satu hari! 

Namun dalam prakteknya, ternyata kita secara individu (masih) sulit mengaplikasikan kata satu ini.

"Eh, Aku Ada project bisnis baru, mau ikutan ga?"; "Bagaimana kalau di keluarga kita diadakan arisan? Pasti seru deh." ; "Ikut Whatsapp Grup pecinta alamku, Yuk. Siapa tahu kita bisa naik gunung bareng lagi.".

Jawaban spontan yang muncul dari pertanyaan di atas, ketika mulut lebih cepat dari otak, mayoritas adalah PENOLAKAN. Hati kecil berkata, "paling-paling ujungnya ngutang, ngerepotin, malah nanti aku yang buntung."

Ini memang realita yang terjadi di masyarakat Indonesia. Entah salah bunda mengandung, budaya individualis memang menjadi turunan dari leluhur kita. Kita kerap alergi untuk berkolaborasi.

Mungkin karena terlalu lama dijajah, mimpi di siang bolong untuk menjadi sosok tunggal yang bisa merubah keadaan menjadi lebih baik, menjadi konkret. Bahkan dengan narsis mulai berpikir, "Sayalah Satria Piningit!"

Bagi sosok individualis, banyak hal terlihat salah. Yang benar adalah apa yang ada di dalam utopia pikirannya saja. "Seharusnya begini, bukan begitu." , "Tuh, apa yang aku prediksikan benar kan?" , "Kamu itu ga tahu yang benar , sih.". 

Kalimat-kalimat itu terucap dengan santainya kepada orang lain, yang sebenarnya tahu tindakannya di persimpangan benar-salah. Namun karena tuntutan, mau tak mau harus berbuat hal tersebut.

Nah, mulai rumit nih. Kita coba bicara tentang individu. Semua orang pasti punya target yang ingin dicapai, bukan? 

Sebuah tindakan yang tanpa pikir panjang, mungkin akan dilakukan kaum pengambil resiko. Sebaliknya, bagi kaum penolak resiko, diam adalah emas. Kemudian jika rekan pengambil resiko itu gagal, si penolak resiko tinggal berkomentar, "aku tau kamu pasti akan gagal".

Padahal dalam hati si pengambil resiko, akan berkata "Tidak mencoba adalah kegagalan yang sebenarnya.".

Menjadi menarik seandainya kedua orang berbeda kutub ini saling berinteraksi sebelumnya. Mereka membicarakan pandangan masing-masing, target masing-masing, mencari jalan tengah untuk bekerja sama, sehingga bisa saling membantu mencapai tujuan.

Berhasil? Belum tentu! Tapi karena ada rekan seperjuangan, kegagalan pun akan menjadi penuh hikmah. Itulah Kolaborasi.

Tradisi yang Membentuk Alergi Berkolaborasi

Tentu ada banyak aspek yang menjadikan banyak orang sulit untuk berkolaborasi. Selain karena sifat individualis, bisa jadi alergi kolaborasi ini terbentuk pengalaman pahit, doktrin dari lingkungan maupun tradisi "perlombaan sukses".

Saya akan lebih membahas faktor terakhir tersebut, karena tradisi "perlombaan sukses" kerap terjadi, namun tidak disadari.

Dalam lingkup kecil, keluarga dengan dua orang anak sedang menjalani makan bersama. Sang ibu menanyakan kepada kedua anaknya, bagaimana hasil Ujian Menggambar tadi siang?

Anak pertama yang memang mempunyai bakat menggambar, dengan lantang menceritakan kesuksesannya mendapat nilai 100. Ayahnya berkata, "Good Job, tingkatkan lagi bakatmu."

Lalu ketika giliran anak kedua, jawabannya kurang baik di telinga Sang Ayah, sebab nilainya hanya 60. "Makanya kamu belajar menggambar sama Kakak, biar bisa dapat nilai bagus!"

Kenyataannya, Si Bungsu lebih memiliki bakat fotografi dibanding kakaknya. Jikalau saja mau menanamkan tradisi berkolaborasi, adik berkakak ini tidak akan dipisahkan jarak "siapa lebih sukses".

Beralih ke lingkungan lebih luas, dimana ini menjadi alasan kuat malasnya kumpul keluarga besar. Dalam momen Hari Raya, baik Natal bagi kaum Kristiani, ataupun Idul Fitri bagi kaum Muslim, penghakiman kedua selain pertanyaan "Kapan Nikah", adalah "Seberapa Sukses Kamu?"

Kadang tidak perlu menjawab lisan, tetapi upaya untuk membuka pinjol guna DP motor atau mobil baru supaya bisa dipamerkan, sudah menjadi akibat alergi kolaborasi ini.

Pertanyaan mengenai seberapa sukses, sudah tidak boleh lagi dijadikan momen basa-basi. Itu basi!

Setiap orang punya masalahnya sendiri. Mereka terkadang ragu untuk bercerita, karena takut tidak dijawab dengan bantuan, malah penghakiman. Sekali mengajak kolaborasi, pasti ditolak dengan dalil, "apa kamu sudah terbukti berhasil?". Ah lagi-lagi, itu mah basi!

Langkah Memiliki Mindset Kolaboratif

Langkah paling mudah untuk mulai belajar kolaborasi, adalah menjadi follower terlebih dahulu. Tidak perlu berpikir muluk menjadi Game Changer terlalu cepat, jika menjadi follower saja masih "kepanasan".

Belajar masuk menjadi anggota sebuah perkumpulan, mempelajari paparan dari anggota lain dan leader, akan menjadi pengalaman yang lebih berharga dibandingkan materi perkumpulan itu sendiri.

Jika sudah menjadi anggota aktif, kita bisa lebih proaktif dengan mengajukan pertanyaan hingga gagasan. Lebih beruntung lagi jika ide kita tersebut diterima banyak orang, sehingga satu tim berkolaborasi nyata mewujudkan sebuah tujuan tersebut. 

Nah, ini lebih gampang kan daripada ditolak saudara ketika mempunyai ide bisnis? hehehe

Dalam buku saku Teamwork 101 oleh John Maxwell, dengan gamblang dijelaskan sosok-sosok terkenal tidak akan berhasil tanpa adanya tim yang kuat di baliknya.

Michael Jordan sebagai contoh, di mana bisa juga kita lihat dalam film AIR tahun 2023. Dua sumber tersebut menjelaskan bagaimana ayah dan ibu Michael sangat tekun untuk bekerja sama membentuk anaknya menjadi bintang basket dunia. Tidak hanya putus setelah mendapat kontrak resmi, keluarga Jordan juga terus memikirkan masa depan anaknya setelah pensiun.

Contoh yang paling inspiratif dalam buku Teamwork 101 John Maxwell, adalah mengenai kaum Sherpa yang membantu pendakian Mount Everest. 

Sherpa adalah sebuah suku di kaki gunung Everest, yang dalam puluhan tahun mengabdikan dirinya menjadi penjaga sekaligus porter bagi para pendaki. Nama mereka kerap tidak tertulis di sejarah pendakian, tetapi jasanya tidak akan terlupakan sepanjang hayat sang pendaki.

Berikut adalah quote dalam buku tersebut, "Agar sebuah tim menjadi sukses, rekan satu tim harus tahu bahwa mereka akan saling menjaga satu sama lain."

Dua tokoh asal Indonesia juga mempunyai quote yang bagus mengenai kolaborasi. Pertama, adalah Presiden Ir. Soekarno punya kalimat pidato yang sudah mendarah daging "Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia". 

Berada di posisi leader dan sudah mempunyai kepercayaan publik, Bung Karno pun tidak merasa bisa sendirian merubah dunia. Butuh kerjasama dan kolaborasi dari pihak lain, untuk mewujudkan gagasan-gagasannya.

Lalu baru-baru ini, entertainer dan pengusaha sukses Raffi Ahmad mengatakan dalam sebuah podcast, "Kenapa aku bisa bertahan sampai sekarang, adalah karena Kolaborasi."

Sosok Raffi Ahmad adalah contoh terbaik yang bisa menjadi Game Changer seusai pandemi yang melanda dunia. Ia tak pernah leleah untuk berkolaborasi, membuat pintu rezeki terbuka tak ada habisnya.

Jadi, bagaimana pembaca? Apa masih alergi untuk berkolaborasi?

Kalau sudah tidak, pinjam dulu seratus boleh? hehehe. just kidding.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun