Tidak ada kata "terlambat" untuk belajar. Demikian pula ketika melihat video graduation speech mantan petenis nomor 1 dunia, Roger Federer, saat menerima gelar doktor kehormatan di Dartmouth College, USA, Selasa (11/6/2024) waktu setempat. Saya tergugah untuk memaknai cuplikan lima menit yang penuh kata bijak tersebut.
Roger Federer yang lahir 8 Agustus 1981, adalah salah satu petenis terbaik yang pernah ada di dunia. Pria asal Basel, Swiss, ini merajai dunia tenis pada periode 2004 hingga 2015, dan sempat memegang status pemegang rekor gelar Grand Slam putra terbanyak (20 gelar), sebelum dipatahkan Rafael Nadal (22 gelar) dan Novak Djokovic dengan 24 gelar hingga artikel ini dituliskan.
Bersama Rafael Nadal dan Novak Djokovic, Roger Federer disebut The Big Three petenis putra tersukses sepanjang sejarah. Persaingan dengan Djokovic memang sedikit terlambat karena perbedaan usia keduanya, sehingga dunia lebih mengenal persaingan abadinya melawan Rafael Nadal.
Baca juga: Cristiano Ronaldo dan Perang Melawan Waktu
Jika Federer menguasai lapangan karpet atau rumput, maka Nadal adalah raja lapangan tanah liat. Setidaknya itulah analogi awam yang saya paham tentang pesaingan keduanya.
Pada 25 September 2022, usai melakoni laga terakhirnya di Laver Cup 2022, Roger Federer resmi pamit dari dunia tenis yang telah membesarkan namanya tersebut. Air mata pun tak terbendung kala itu, bahkan oleh Rafael Nadal yang telah menjadi pesaing abadi sekalipun.Â
Kembali ke Dartmouth College, Roger Federer mendapatkan gelar honoris causa Doctor of Humane Letters, yakni ditujukan kepada individu yang telah memberikan layanan teladan kepada masyarakat atas pencapaiannya.Â
Federer menyampaikan pidato pembukaan graduation di hadapan 11.000 orang secara langsung dan ribuan lainnya secara virtual.
Membuka pidato, Roger Federer menceritakan kilas baliknya harus meninggalkan sekolah di usia 16 tahun untuk fokus menjadi petenis profesional. Jadi ia tidak pernah mengenyam kuliah, namun tersanjung bisa mendapatkan gelar doktor honoris causa ini.
Ia juga memaknai kata kelulusan seperti wisudawan lainnya, dengan menyebut keputusan pensiun tahun 2022 lalu sebagai "kelulusannya di dunia tenis".Â
Lalu sama seperti wisudawan lain, ia juga berpikir "what next?", apa rencana yang akan dilakukan berikutnya setelah "kelulusan" atau pensiun?
Jawabannya diplomatis dan logis "I don't know. And it's okay not to know".Â
Roger Federer kini kembali menjadi seorang bapak yang mengantarkan ananknya sekolah, bahkan bermain catur-online dengan orang-orang asing. Pesannya sebagai seorang lulusan atau pensiunan adalah, living the life sebagai seorang lulusan tenis.Â
Tentu menjadi tidak komparatif dengan wisudawan yang menjadi pendengarnya karena ia adalah petenis hebat dengan rangkaian gelar maupun hadiah berlimpah. Maka ia memberikan beberapa pelajaran hidup yang dipetiknya selama 20 tahun berkecimpung di dunia tenis.
Effortless is a Myth
Banyak orang menyebut Roger Federer hebat karena bakatnya, sehingga ia bisa memenangi pertandingan secara effortless atau tanpa usaha. Ini berkaitan dengan ayunan pukulannya yang terlihat santai, namun sangat kuat dan akurat. Maka dengan lantang ia menyebut, bahwa pendapat itu adalah mitos belaka.
Sebab kenyataannya, Federer harus bekerja dan berlatih keras untuk melakukan ayunan raket yang "terlihat mudah" bagi penonton. Sama seperti manusia lainnya, ia banyak menghabiskan waktu merengek, mengumpat dan bahkan melempar raketnya sebelum ia bisa mengendalikan kemampuannya.
Tak dapat dipungkiri juga olehnya, talenta memang diperlukan. Namun Federer berani menjelaskan, talenta memiliki arti yang sangat luas.Â
Talenta tidak hanya tentang mendapatkan hadiah dari "Yang Maha Kuasa", tetapi juga perlu ketabahan untuk terus mengasahnya.
Disiplin, kesabaran serta rasa percaya pada diri sendiri juga merupakan talenta. Memaknai dan mencintai proses dalam hidup, ia juga katakan merupakan wujud talenta.
Maka dari itu sebuah pelajaran dari seorang yang diklaim Greatest of All Time (GOAT) di dunia tenis, bisa menjadi contoh terbaik bagi kita semua. Tidak ada sesuatu yang besar tanpa adanya usaha.
Belajar dari Kegagalan
Roger Federer juga menceritakan salah satu partai terbesarnya melawan Rafael Nadal, Final Wimbledon 2008. Partai yang berlangsung hampir 5 jam ini menjadi salah satu partai terbaik sepanjang masa.Â
Ia sempat mendapatkan motivasi untuk bangkit di sesi terakhir, dengan mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa ia telah memenangi 5 Wimbledon sebelumnya.
Sementara lawan yang dihadapinya, Rafael Nadal, baru saja menjuarai turnamen French Open 2008 dengan mengalahkan dirinya dua set langsung. Federer sadar, meski ia sudah mencoba bangkit, lawannya sedang dalam performa yang sangat tangguh.
Akhirnya final ini dimenangi oleh Nadal, dan Federer memetik pelajaran yang sangat berharga dalam kariernya. Akan ada orang yang "lebih lapar" darinya di suat waktu, dan sosok itu adalah Rafael Nadal.
Akibat kekalahan itu Roger Federer kehilangan ranking teratas di ATP Men Ranking, dan Nadal bisa meneruskan performa gemilangnya.
Apa yang harus dilakukan? Federer hanya bisa terus bekerja dan terus berkompetisi. Sebab di dalam tenis, perfection is impossible. Â
Sebuah pidato kehidupan singkat dan sarat makna dari salah satu petenis putra terbaik sepanjang masa. Roger Federer tak ada bedanya dengan kita, memiliki hobi, mimpi dan ia memilih hidup di dalamnya.Â
Terkadang ia pun harus mengakui kekalahan dengan orang yang memang lebih lapar, namun kebangkitan menjadi salah satu talenta untuk mengembalikannya ke puncak beserta satu talenta lain, kerja keras.
Sebab, Effortless is a myth!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H