Tergugah lagi minat saya untuk menuliskan artikel selain sepakbola, terutama setelah tulisan "Rumah Hantu, Jadi Memori Sukses First Date Saya!" dipilih oleh admin kompasiana menjadi Artikel Utama. Topik Pilihan yang kali ini saya bahas adalah, Panti Jompo Bukan Budaya Kita?
Butuh pemahaman secara holistik untuk membahas topik pro-kontra ini. Saya telah membaca banyak sudut pandang dari kompasianer-kompasianer senior yang cukup konsen menolak wacana Orang Tua Dititipkan di Panti Jompo. Alasannya bisa beragam, tetapi muaranya adalah keinginan dari para lansia untuk menikmati hari tua bersama keluarga.
Jawaban tersebut memanglah "kurva normalnya", lazim dan juga benar. Namun saya coba membalik sudut pandang, dari keluarga, dan terutama anak, yang jadi sorotan tuduhan tega memasukkan orang tua mereka ke panti. Mari kita secara seksama mendengar cerita teman saya ini,
"Capek saya harus mengalah menjadi caregiver, sementara kakak-kakak saya yang lain bisa berkeluarga dengan normal dan dibanggakan keluarga."
"Seandainya bisa memilih, saya mau menikah lebih awal dan meninggalkan rumah. Saya menyesal."
"Ada satu titik saya sudah ikhlas, tetapi orang tua saya tidak bisa diajak berkompromi. Rasa bangga yang besar akan masa lalunya, tidak bisa ditekuk oleh waktu. Sampai saya memahami secara medis, ayah saya mengidap dimensia."
"Tentu ia merasa sehat, orang paling sehat sedunia. Bahkan meremehkan saya yang mengidap gerd karena tekanan harus menjaganya sembari terus merenung bagaimana sisa hidup saya."
"Teman saya seorang dokter, menyarankan saya harus menjaga pola makan ayah saya dan mengajaknya berolahraga. Sementara kakak-kakak saya dan keluarga yang lain hanya bisa mengancam, sambil menjelaskan "kami sudah punya keluarga, sementara kamu belum. Awas kalau ada apa-apa sama papa.""
Dan akhirnya teman saya, sebut saja namanya Rudi, meninggalkan ayahnya yang berusia 75 tahun sendirian di rumah itu, tepat setahun setelah ibunya tiada karena sakit. Life must go on baginya.
Tentu ia sudah berupaya menghubungi banyak pihak seperti keluarga, gereja (komisi sosial) maupun panti jompo untuk menanyakan kemungkinan bisa membantu merawat ayahnya setelah ia berjibaku menjaga ibunya yang sakit dalam durasi 5 tahun sebelum wafat.