Mohon tunggu...
Greg Satria
Greg Satria Mohon Tunggu... Wiraswasta - FOOTBALL ENTHUSIAST. Tulisan lain bisa dibaca di https://www.kliksaja.id/author/33343/Greg-Satria

Learn Anything, Expect Nothing

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Empat Faktor Penyebab Timnas Brasil Masih Belum Raih Performa Terbaik

20 November 2023   20:05 Diperbarui: 22 November 2023   11:49 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jelang laga Brasil versus Argentina di Maracana, pada Rabu (23/11), ada perbedaan yang mencolok di klasemen sementara Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Conmebol yang sudah menjalani 5 Matchday. (BACA : Bigmatch Brasil vs Argentina: Bisa Apa Samba Tanpa Vinicius Jr?) Argentina yang berstatus juara Piala Dunia 2022 berada di pucuk klasemen dengan 12 poin, sementara Brasil sebagai negara pengoleksi gelar Piala Dunia terbanyak masih berada di posisi ke-5 dengan 7 poin. 

Dua kemenangan diraih Brasil saat melawan Bolivia dan Peru, satu hasil imbang diraih saat melawan Venezuela, dan dua kekalahan beruntun yang aktual terjadi saat melawan Uruguay dan Kolombia. Delapan gol berhasil dicetak, sementara gawang Tim Samba sudah kebobolan 6 gol. Lantas mengapa Timnas yang terkenal dengan Jogo Bonito-nya ini masih saja belum berprestasi Internasional sejak terakhir kali meraih Piala Dunia 2002 Korsel-Jepang?

1. Sistem Permainan Sepakbola yang Kini Lebih Kolektif

Setelah menjadi kampiun Piala Dunia 2002, Brasil memang sempat menjadi juara Copa America 3 kali pada tahun 2004,2007 dan 2019). Tanpa menafikan capaian tersebut, Copa America memang menjadi panggung dua raksasa Conmebol, yakni Brasil dan Argentina saja. Sekali dua kali, Timnas Uruguay dan Chile akan tampil mengejutkan dengan menjadi juara. Permainan Jogo Bonito atau sepakbola indah Ala Brasil masih relevan digunakan di kompetisi daratan Amerika Selatan ini yang memang masih menganut strategi individualis dan fisikal.

Sementara kompetisi atau liga dunia yang terbesar berada di kawasan Eropa. Para inventor dan ahli taktikal Eropa akan mulai berpikir bagaimana cara mengalahkan hegemoni tim Amerika Latin. Praktis, setelah 2002 dengan trio Ronaldo, Rivaldo dan Ronaldinho yang sangat fenomenal, Brasil kesulitan untuk melewati hadangan strategi sepakbola Eropa yang kian kolektif.

Di tahun 2002 hingga 2008 ada sepakbola pragmatis yang diinisiasi oleh Jose Mourinho, mempengaruhi banyak tim di dunia untuk menjadikan pertahanan sebagai sentral permainan. Filosofinya menganut pepatah lama, bahwa penyerang yang baik memenangkan pertandingan, sementara pertahanan yang baik akan memenangkan kejuaraan. Tahun 2006 Italia berhasil menyempurnakan Catenaccio-nya dengan kolektivitas ala Marcello Lippi.

Kemudian muncullah Tiki-taka yang menyempurnakan Total Football Rinus Michels dan Johan Cruijff, serta kolektivitas ala Arsene Wenger. Inventornya adalah Pep Guardiola dengan pasukan La Masia-nya. Periode ini memang mengakomodir Ronaldinho dalam beberapa tahun di Barca, namun ritme yang semakin mengandalkan one-two touch kurang cocok baginya hingga meninggalkan Blaugrana menuju Milan. Ricardo Kaka merupakan salah satu pemain Samba yang sebenarnya masih relevan dengan perubahan ini, namun ia sendiri diusik oleh banyak cedera saat membela Real Madrid.

Berikutnya, hingga sekarang kita mengenal istilah Gegenpressing Jerman yang menghancurkan Brasil 7-1 saat Piala Dunia 2014. Ada pula peyempurnaan Tiki-Taka Forward dengan lebih mengalirkan bola ke arah depan serta formasi tiga bek high-line yang membuat lapangan semakin sempit untuk mengolah bola.

Pemahaman taktik dalam evolusi formasi ini akan lebih didapatkan pemain Eropa dibandingkan Amerika Latin, karena itu sudah merupakan blueprint sejak pendidikan sepakbola usia dini. Katakanlah Argentina yang sukses di Piala Dunia kemarin, juga mendapat banyak ilmu di daratan Eropa melalui pemain seperti Otamendi, Di Maria dan terutama Lionel Messi. Pemain-pemain Brasil cenderung sulit beradaptasi dengan perubahan ini, dikarenakan masa kecil mereka yang lebih suka mengolah bola dengan lama dan bermanuver melewati satu-dua pemain.

2. Pelatih Timnas yang Belum Teruji

Faktor ini mungkin menjadi hal yang menjadi otoritas Induk Sepakbola Negara Brasil yang mempunyai prevelensi memilih pelatih asal Brasil dalam menangani Timnasnya. Dalam dua dekade terakhir, nama-nama seperti Luis Felipe Scolari, Carlos Alberto Parreira, Vanderlei Luxemburgo, Dunga, Tite dan sekarang Fernando Diniz mendapat kepercayaan dari CBF (PSSI nya Brasil) meskipun belum cukup teruji di sepakbola dunia.

Pengalaman melatih dari pelatih-pelatih di atas mayoritas adalah melatih klub atau negara di luar Eropa. Ada nama seperti Scolari dan Luxemburgo yang mencoba peruntungan di Chelsea dan Real Madrid, namun meskipun meraih sukses di tahun pertamanya, mereka tidak bertahan dalam jangka waktu yang lama.

Hingga akhirnya, sejak awal tahun 2023 ini mulai dihembuskan nama Carlo Ancelotti yang akan diusung sebagai pelatih Timnas Brasil selanjutnya. Don Carlo sudah mendapatkan proposal melatih Samba dari CBF, namun masih ditolak karena ia ingin fokus menyelesaikan kontrak di Real Madrid hingga 2024. Bahkan CBF pun rela jika misalnya Don Carlo menjadi manajer dua tim sambil menangani El Real. 

Alasan yang diambil dalam kampanye penunjukkan Ancelotti ini adalah mengatasi "gap ilmu" dengan strategi Eropa, dan Ancelotti punya banyak pengalaman menangani pemain-pemain Brasil. Kini di Madrid, ada Vini Jr dan Rodrygo yang menjadi anak asuhnya. Ia juga pernah berkolaborasi dengan Thiago Silva, Kaka, Neymar, David Luiz, Oscar, hingga meningkatkan kemampuan Richarlison di Everton. Masa lalunya juga pernah dicicipi dengan melatih Ronaldo, Emerson, Cafu dan Dida.

3. Pemain yang Tersebar di Seluruh Dunia

Sudah menjadi informasi umum bahwa Brasil adalah Negara pengekspor pemain bola terbanyak di dunia. Berdasarkan data tahun 2021, ada 10.694 pemain Brasil secara total di seluruh dunia termasuk di Liga Indonesia (dataIndonesia.id). Mereka seharusnya mempunyai banyak pilihan untuk dijadikan pemain timnas, namun ini bak senjata pedang bermata dua. Mayoritas pemain-pemain ini menjadikan sepakbola sebagai jalan hidupnya sebagai perubah nasib ekonomi keluarganya. Sehingga mereka banyak yang pindah ke liga negara lain di usia dini, dan tujuan utamanya adalah ekonomi.

Hal inilah yang membuat pemain-pemain tersebut kurang mendapat motivasi untuk menjadi yang terbaik. Setelah Ricardo Kaka, hanya Neymar dan Thiago Silva saja yang berada di jajaran pemain elite dunia.

Dari puluhan ribu pemain tersebut, tentu seorang pelatih akan menyortir berdasarkan liga-liga besar saja. Katakanlah hanya Eropa dan Liga Brasil yang dijadikan prioritasnya, inipun masih menjadikan problematika dalam membentuk Timnas yang solid. Untuk mengadakan Training center, kerap Brasil harus mengungsi ke Eropa untuk mengakomodir mayoritas pemain mereka yang berada di sana agar tidak ada waktu yang terbuang di perjalanan udara. Perbedaan waktu antara kompetisi Eropa dan Amerika Selatan juga bisa dijadikan hambatan dalam membentuk Timnas yang padu.

4. Kurangnya Stok Penyerang Berkualitas

Mari mengamati nama-nama penyerang tengah Brasil paska Piala Dunia 2002 berikut. Adriano, Luis Fabiano, Fred, Hulk, Jo, Diego Tardelli, Firmino, dan Gabriel Jesus. Nama-nama tersebut tidak ada yang mendekati kemampuan Ronaldo ataupun Romario sebagai legenda penyerang Samba.

Pemain kelas dunia yang dihasilkan Brasil justru berada di posisi kiper, gelandang bertahan dan penyerang sayap. Ederson dan Allison di penjaga gawang. Fernandinho, Casemiro, Fabinho berada di satu generasi setelah Gilberto Silva dan Emerson. Kemudian ada nama pemain skillfull seperti Robinho, Neymar dan Vinicius Jr.

Hal inilah yang membuat mereka kerap kesulitan untuk melewati laga sulit yang membutuhkan penyerang sebagai pembeda. Sistem yang belum terbentuk sempurna dengan rigid atau autopilot, membuat pemain kebingungan kala menghadapi lawan yang bermain kolektif. Gocekan ala Samba bisa melewati hingga dua orang, namun penyelesaian akhirnya adalah sisi terlemah tim di kompetisi dunia.

Kini ada nama Endrick Felipe dan Victor Roque yang musim depan akan saling berhadapan di El Classico. Besar harapan fans Brasil pada kedua nama itu untuk mampu setidaknya mendekati pencapaian Ronaldo dan Rivaldo dahulu.

Demikian empat faktor yang membuat Brasil masih mejan di skala Internasional. Diharapkan Negara dengan lima gelar Piala Dunia ini dapat menemukan kembali jalannya, sehingga akan menjadi penantang bagi Timnas seperti Argentina, Spanyol, Inggris dan Prancis di kancah dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun