Diagnosis Tifus…. Tatkala seorang dokter telah kehabisan akal saat ditanya pasiennya apa penyebab demamnya yang tidak sembuh-sembuh.
Entah mengapa selama saya praktik, … banyak pasien saya yang berkata,”Saya pernah punya tifus lho dok”… “Kata dokter X saya ada tifusnya lho dok..”……. “Jadi… penyakit saya tifus bukan dok?”.. Seolah-olah pasien akan merasa puas kalau mendapat diagnosis tifus.
Tifus abdominalis (typhoid fever) merupakan penyakit demam tinggi yang diakibatkan oleh infeksi Salmonella typhii. Infeksi ini bila tidak diobati memang dapat menjadi sangat berbahaya terutama bila terjadi perforasi usus halus. Namun, untuk memvonis seorang pasien mengalami demam tifus tidak boleh sembarangan karena bila diagnosis tifus telah ditegakkan maka obat-obatan harus tepat dan diberikan dalam jangka waktu tertentu serta pasien harus bedrest.
Kenyataan yang saya amati selama ini, dokter selalu menjadikan diagnosis tifus sebagai diagnosis keranjang sampah. Artinya bila tidak tahu penyebab demam si pasien, dokter dengan seenaknya saja bilang ke pasien bahwa ia menderita penyakit tifus. Kadang kala dokter juga sering merujuk pasien untuk melakukan tes Widal. Tes ini adalah untuk mengukur titer antibody terhadap kuman Salmonella. Atas dasar tes Widal yang positif inilah dokter mendiagnosis demam tifus. Apakah ini BENAR?
Sekarang saya akan beritahu kebenarannya. Tes Widal pada orang yang tinggal di negeri tropis termasuk Indonesia (terutama daerah endemic) biasanya positif walaupun dalam kondisi sehat. Hal ini disebabkan makanan/minuman yang dikonsumsi sehari-hari banyak terkontaminasi salmonella sehingga tubuh memproduksi antibody terhadap kuman tersebut. Namun pada kondisi ini kuman salmonella tidak menginfeksi dan berhasil dilemahkan oleh daya tahan tubuh sehingga tidak menyebabkan penyakit tifus.
Because of the high prevalence of antibody amongst healthy individuals over 10 yr of age in endemic areas, a single Widal test offers virtually no diagnostic assistance in adolescents and adults.( Am. J. Trop. Med. Hyg., 27(4), 1978, pp. 795-800). Jadi diagnosis Tifus tidak boleh ditegakkan atas dasar 1 kali pemeriksaan tes Widal karena orang sehat juga widalnya positif.l
Lalu bagaimana gejala tifus ditegakan? Gejala dan tanda tifus berupa demam tinggi >39 C, malaise, kadang disertai gangguan pencernaan, pembesaran liver. Untuk pemeriksaan laboratorium darahnya biasanya ditemukan leucopenia (penurunan jumlah sel darah putih) dan uji widal harus dilakukan secara serial (berulang) pada akhir minggu pertama dan minggu kedua. Bila pada pemeriksaan widal serial terdapat peningkatan secara bermakna maka diagnosis tifus dapat ditegakkan. Contoh : bila pada minggu I widal 1/80, kemudian minggu ke II widal 1/640 maka diagnosis tifus dapat ditegakkan. Tapi bila minggu I widal 1/160, minggu II tetap 1/160 maka tidak boleh didiagnosis tifus.
Jadi kalau hanya sakit demam ringan, gangguan pencernaan, namun dokter anda telah menegakkan diagnosis tifoid maka janganlah dipercaya. Bila anda disuruh periksa Widal dan hasilnya positif maka mintalah untuk dilakukan periksa Widal lagi secara serial.
Patut diketahui, penyebab demam sebagian besar adalah infeksi virus. Jadi bila baru beberapa hari demam dan hanya subfebris saja maka kemungkinan besar penyebabnya adalah virus dan tidak perlu diberikan antibiotika. Seringkali pasien dengan subfebril yang timbul hanya pada sore/malam hari langsung divonis sebagai gejala tifus. Itu salah besar, demam pada tifus itu tidak pernah hilang pada pagi/siang hari, namun suhu memang menjadi lebih tinggi sore/malam hari. Pasien yang didiagnosa tifus tentunya diberikan antibiotika (chloramphenicol atau tiamphenicol). Apa akibatnya? Kondisi pasien tersebut justru akan semakin parah karena golongan antibiotika tersebut akan menyebabkan GI upset (gangguan pencernaan). Pasien menjadi mual, keringat dingin, lemah, dll dan akhirnya harus dirawat dengan rujukan sakit tifus padahal hanya infeksi virus dengan dispepsia yang diakibatkan penyalahgunaan antibiotika. Di sinilah letak kerancuan yang seringkali terjadi.
Semoga artikel ini bisa memberikan pencerahan bagi kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H