Pada 20 Oktober 2020, World Economic Forum (WEF) merilis The Future of Jobs Report 2020, laporan tentang dinamika pekerjaan selama setahun ini dan bagaimana ke depannya. Ada beberapa poin menarik yang bisa diambil dari laporan ini, baik bagi pekerja maupun pelaku usaha.
Terjadinya Disrupsi Besar-Besaran
Poin utama dalam laporan WEF adalah terjadinya disrupsi ganda akibat perkembangan teknologi dan pandemi COVID-19 serta krisis ekonomi yang menyertainya. Secara umum, perubahan dan kehilangan pekerjaan karena kemajuan teknologi memang sudah berlangsung dalam waktu yang lama.Â
Namun, dengan adanya pandemi, perusahaan-perusahaan mempercepat pengurangan tenaga kerja manusia dan peningkatan penggunaan jasa kontraktor. Hal ini jelas perlu menjadi perhatian bagi para tenaga kerja, terutama mereka yang bekerja di area yang riskan mengalami otomatisasi.
Meski terjadi pengurangan tenaga kerja dalam jangka waktu singkat, tetap terjadi pembentukan pekerjaan, walau trennya melambat dibanding tahun-tahun sebelumnya.Â
Pada 2025, 85 juta pekerjaan akan digantikan oleh mesin, sedangkan 97 juta pekerjaan baru akan terbentuk untuk mengakomodasi teknologi-teknologi baru. Tetapi, pekerjaan-pekerjaan baru ini umumnya memerlukan keahlian yang lebih tinggi, sehingga mereka yang kehilangan pekerjaan belum tentu mendapatkan pekerjaan baru.
Digitalisasi Pekerjaan dan Pekerjaan Jarak Jauh
Pandemi COVID-19, yang membuat hampir seluruh dunia bekerja dari rumah, secara tidak langsung "memaksa" adopsi digitalisasi tempat kerja. Beberapa peran yang selama ini masih dilakukan di kantor, ternyata dapat dilakukan dari rumah.Â
Sekitar 44% tenaga kerja diprediksi akan tetap bekerja dari rumah setelah pandemi berakhir. Delapan puluh empat persen perusahaan juga akan melakukan percepatan digitalisasi usaha mereka. Digitalisasi ini meliputi penggunaan big data, penjualan melalui online shop, dan komputasi awan (cloud computing).
Untuk mendukung perubahan ini, terdapat perubahan yang perlu dilakukan perusahaan. Koneksi antar pekerja perlu tetap dipertahankan, meski medianya berubah. Kesejahteraan pekerja juga perlu diperhatikan, agar tetap produktif dalam bekerja. Fasilitas pertemuan online, seperti Zoom dan Google Meet bisa menjadi sarana pendukung dalam hal ini.
Soft Skill untuk Menyongsong Perubahan
Poin selanjutnya adalah perusahaan-perusahaan mengakui pentingnya tenaga kerja yang berkualitas dalam menghadapi kemajuan teknologi. Untuk mendapatkan hal itu, keahlian yang dicari terutama adalah soft skill, seperti berpikir kritis, pemecahan masalah, dan analisis. Selain itu, perusahaan juga mencari para pekerja yang mampu mengatur diri sendiri dengan baik, yaitu mereka yang mampu belajar aktif, berdaya tahan tinggi, tahan terhadap stres, dan mampu bekerja secara fleksibel.Â
Soft skill tersebut memang dapat dilatih melalui seminar atau pelatihan, tetapi tetap saja yang menentukan adalah pribadi masing-masing dalam penerapannya sehari-hari. Soft skill dapat menjadi pembeda, terutama bagi mereka yang bekerja di industri yang persaingannya ketat.
Pentingnya Pelatihan bagi Perusahaan dan Tenaga Kerja
Walau hal utama yang dicari perusahaan adalah soft skill, hard skill tidak bisa diabaikan begitu saja. Baik perusahaan dan tenaga kerja perlu pelatihan agar mampu menjadi yang terdepan dalam adopsi perkembangan teknologi.Â
Dalam 5 tahun, setengah tenaga kerja perlu pelatihan tambahan agar kemampuan mereka tetap up-to-date. Sekitar 70% tenaga kerja diperkirakan mendapatkan tawaran pelatihan tambahan dari perusahaan, namun hanya 42% yang menerima tawaran itu.Â
Saat ini, hard skill yang diperlukan adalah keahlian digital (seperti analisis data, teknologi informasi, dan pemrograman). Pelatihan melalui daring menjadi kesempatan bagi mereka yang ingin meningkatkan dirinya, terutama karena jeda waktu antara pelatihan dan penerapan keahlian yang semakin tipis akibat bertambah cepatnya perkembangan dunia.
Meningkatnya Ketimpangan
Perubahan terakhir yang disorot dalam laporan WEF adalah kemungkinan meningkatnya ketimpangan. Dengan meningkatnya keahlian yang diperlukan untuk mendapatkan pekerjaan dan hilangnya pekerjaan yang memerlukan keahlian rendah, mereka yang status ekonomi dan sosialnya rendah akan sulit untuk bersaing.Â
Pendidikan dan pelatihan membutuhkan waktu dan uang yang tidak sedikit, yang sulit didapatkan mereka yang kurang berkecukupan. Dengan demikian, mereka dapat digantikan dengan mudah, sehingga semakin meningkatkan jurang antara yang kaya dan miskin.
Bagi para pemuda, hal ini tentu perlu diperhatikan, terutama karena mereka belum mempunyai riwayat kerja yang bisa digunakan untuk membantu mencari pekerjaan. Sebagai alternatifnya, pengalaman non-akademik, seperti organisasi dan magang, dapat membantu dalam bersaing di dunia kerja. Selain itu, seperti yang sudah disebutkan di atas, soft skill dari masing-masing individu perlu ditingkatkan agar mampu unggul dalam kompetisi di dunia kerja.
Untuk pemerintah, perlu ada bantuan bagi mereka yang ingin meningkatkan kemampuan, namun tidak memiliki fasilitas demi menghindari melebarnya ketimpangan. Program-program seperti Kartu Prakerja harus dioptimalkan lagi, agar benar-benar membantu dan tepat sasaran. Pemerintah juga dapat memberi insentif bagi para pelaku usaha agar memberikan pelatihan optimal bagi para pekerjanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H