Indonesia sebagai salah satu wilayah di mana agama Katolik berkembang dengan baik memiliki berbagai macam kebudayaan dan kesenian adat, salah satunya adalah kebudayaan adat Jawa. Kebudayaan Jawa sendiri diperkirakan telah ada di Nusantara sejak zaman prasejarah, yang kemudian berkembang melewati zaman Hindu, zaman Islam, zaman Hindia-Belanda, dan terus berkembang hingga di zaman modern ini.[1] Masyarakat Jawa dikenal dengan keseniannya yang khas seperti alat musik gamelan, arsitektur rumah adat, corak dan pakaian adat, dan masih banyak lagi. Hingga kini, tidak jarang dilihat berbagai kesenian Jawa yang masih lestari di tengah masyarakat, bahkan dipergunakan dalam prosesi atau upacara keagamaan tertentu, salah satunya dalam Gereja Katolik. Hubungan kesenian adat Jawa dengan Gereja Katolik sangat nampak baik dari unsur arsitektur maupun penggunaannya dalam liturgi. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai inkulturasi.
Inkulturasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu usaha pembudayaan atau usaha suatu agama untuk menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat. Sedangkan berdasarkan kajian dengan pandangan teologis agama Katolik, inkulturasi sering disebut juga dengan istilah indigenisasi, kontekstualisasi atau inkarnasi (Schineller, Peter, SJ: 1990). Berdasarkan penegasan Konsili Vatikan II (1962-1965), inkulturasi berarti Gereja Katolik menerapkan sikap terbuka dan mau menerima unsur-unsur kebudayaan lokal dimana Gereja tersebut berada selama unsur-unsur tersebut tidak bertentangan dengan ajaran dalam agama Katolik (Suciningsih, Yuni: 2012). Inkulturasi sendiri bertujuan agar pelaksanaan misi keagamaan seperti liturgi dapat selaras dengan cita rasa budaya umat yang beribadat melalui penyesuaian tata cara dan suasana. Salah satu bentuk konkret inkulturasi adalah dengan adanya gamelan jawa sebagai instrumen musik pengiring nyanyian dalam liturgi Ekaristi di banyak Gereja Katolik yang berada di wilayah Jawa.
Inkulturasi kesenian atau kebudayaan lokal khsusunya kebudayaan Jawa tidak serta merta terjadi begitu saja, melainkan melalui berbagai proses dan perkembangan. Pada mulanya, sejak tahun 1925, Inkulturasi kesenian Jawa dirintis oleh C. Hardjosoebroto di sekolah pendidikan guru yang berlokasi di Muntilan. Kemudian, dengan dorongan Br. Clementius, beliau memberanikan diri untuk membuat karangan beberapa gending Gereja yang disajikan dalam bahasa Jawa yang bertangga nada pelog dan tanpa disertai iringan. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1956, usaha inkulturasi kian berkembang dan untuk pertama kali didemonstrasikan gending dengan iringan gamelan karya Atmodarsono dan C. Hardjoesoebroto di Gereja. Penegasan inkulturasi dalam Konsili Vatikan II kemudian membawa pengaruh pada inkulturasi Jawa dengan Gereja Katolik di Indonesia, dimana pada pasca Konsili Vatikan II, instrumen gamelan dipakai seutuhnya untuk menjadi instrumen pengiring gending Gereja (Susantina, Sukatmi: 2001).
Saat ini, Inkulturasi kesenian Jawa semakin berkembang dengan baik, khususnya di banyak Gereja Katolik yang berlokasi di tanah Jawa. perkembangannya dapat dikatakan semakin baik karena saat ini tidak hanya memasukkan instrumen musik maupun nyanyian bernada khas Jawa ke dalam ibadat, namun juga unsur kebudayaan Jawa lainnya seperti pakaian adat dalam beberapa kegiatan ibadat Katolik, arsitektur Jawa yang diimplementasikan dalam membangun Gereja Katolik, penggunaan bahasa Jawa dalam liturgi dan nyanyian liturgi, dan masih banyak lagi bentuk inkulturasi kesenian Jawa. Salah satu contoh nyata bahwa Gereja Katolik yang saat ini menggunakan arsitektur dan kebudayaan khas Jawa adalah Gereja Katolik Santa Maria Puhsarang di Desa Puhsarang, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Gereja tersebut juga memiliki sejarah Jawa yang kental yang dibuktikan dengan adanya tulisan devosi kepada Bunda Maria dalam bahasa Jawa ejaan Belanda.[2] Selain Gereja tersebut, dapat ditemukan juga inkulturasi kebudayaan Jawa pada Gereja Katolik lainnya.
Perkembangan inkulturasi yang kian membaik tentu tidak terjadi tanpa disertai tantangan. Tantangan yang dimaksud berupa hal yang sangat mendasar, yaitu cara pandang masyarakat adat Jawa. Pemikiran dasar yang filosofis menciptakan kekhasan dalam kebudayaan yang kemudian dituangkan seperti pada penataan arsitektur dan interior ruangan yang penuh dengan makna-makna tertentu. Secara garis besar, pemikiran masyarakat Jawa terdiri dari 3 bagian (Mulder, Niels: 1986). Pertama, bentuk dan isi merupakan satu kesatuan, namun bentuk dipandang lebih penting daripada isi karena masyarakat Jawa memandang selalu ada makna pada suatu bentuk. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat Jawa bersifat seremonial. Kedua, masyarakat adat Jawa yakin bahwa bentuk yang sempurna telah ada dan hanya perlu diisi. Pemikiran kedua ini menunjukkan bahwa masyarakat Jawa menghormati dan menaati kenyataan yang sempurna. Ketiga, masyarakat adat Jawa tidak melihat waktu sebagai pemeran yang penting, namun waktu sudah termasuk dan menjadi satu kesatuan dengan suatu bentuk yang mana bentuk tersebut merupakan hasil pemikiran yang berbudaya. Dengan adanya cara pandang yang dilandasi ketiga bentuk pemikiran tersebut, dapat diketahui bahwa kebudayaan Jawa lahir secara progresif dan cenderung menggambarkan kegiatan atau aktivitas masyarakatnya. Kenyataan tersebut mengakibatkan tidak semua kebudayaan Jawa dapat sejalan dan masuk ke dalam budaya Gereja, dan karena hal tersebut maka proses inkulturasi kesenian Jawa menjadi lebih lambat dan tidak memungkinkan untuk melibatkan seluruh kesenian adat Jawa.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa inkulturasi dalam Gereja Katolik merupakan hal yang baik untuk dikembangkan. Gereja Katolik menghormati dan mengakui kebudayaan yang ada pada masyarakat sebagai realitas yang ada serta sebagai identitas yang melekat. Inkulturasi yang pada dasarnya sebagai usaha Gereja Katolik untuk menyatu dengan masyarakat dan kebudayaan setempat membawa umat kepada pelestarian dan improvisasi kreatif kebudayaan sehingga menjadi lebih lestari, yang juga disertai dengan tujuan mulia, yakni memperkuat relasi dengan Sang Pencipta. Dengan penegasan Konsili Vatikan II, Gereja Katolik dapat semakin membaur dengan kebudayaan lokal dalam menjalankan misi Gerejawi meskipun pelaksanaanya tidak semudah itu. Inkulturasi hingga saat ini menunjukkan sisi baiknya yang membawa masyarakat menjadi manusia yang berketuhanan sekaligus manusia yang berbudaya dengan memperhatikan batasan-batasan tertentu agar tetap sejalan.
[1] Setyaningrum, Puspasari. (2022, Augustus 27). Mengenal Suku Jawa, dari Asal-usul hingga Tradisi. Kompas.com. https://yogyakarta.kompas.com/read/2022/08/27/103121178/mengenal-suku-jawa-dari-asal-usul-hingga-tradisi?page=all#google_vignette
[2] Dwi, Andhika. (2022, Mei 26). Syahdu! Wisata Religi Gereja Puhsarang dengan Arsitektur Jawa Roma. DetikJatim. https://www.detik.com/jatim/wisata/d-6095833/syahdu-wisata-religi-gereja-puhsarang-dengan-arsitektur-jawa-roma
REFERENSI
Dwi, Andhika. (2022, Mei 26). Syahdu! Wisata Religi Gereja Puhsarang dengan Arsitektur Jawa Roma. DetikJatim. https://www.detik.com/jatim/wisata/d-6095833/syahdu-wisata-religi-gereja-puhsarang-dengan-arsitektur-jawa-roma.
Mulder, Niels. (1986). Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Gajah Mada University Press.
Setyaningrum, Puspasari. (2022, Augustus 27). Mengenal Suku Jawa, dari Asal-usul hingga Tradisi. Kompas.com. https://yogyakarta.kompas.com/read/2022/08/27/103121178/mengenal-suku-jawa-dari-asal-usul-hingga-tradisi?page=all#google_vignette.
Suciningsih, Yuni. (2012). Inkulturasi Musik Gamelan Jawa pada Musik Liturgi dalam Ekaristi di Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Pugeran Yogyakarta. (Skripsi Sarjana, Universitas Negeri Yogyakarta). http://eprints.uny.ac.id/id/eprint/6930.
Susantina, Sukatmi. (2001). Inkulturasi Gamelan Jawa – Studi Kasus di Gereja Katolik Yogyakarta. Philosophy Press.
Schineller, Peter, SJ. (1990). A Handbook on Inculturation. Paulist Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H