Mohon tunggu...
Gregorius Dedy
Gregorius Dedy Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Fakultas Teologi\r\nUniversitas Sanata Dharma\r\nYogyakarta\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

Etika Politik Hannah Arendt

18 Juli 2014   14:47 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:59 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang filsuf, Hannah Arendt memiliki gagasan bahwa dunia politik yang tidak totaliter dicari dalam refleksi tentang perlawanan terhadap kesewenangan, sehingga tercapainya human condition. Pemimpin berusaha memperluas ruang publik dan mempersempit ruang privat. Ruang publik adalah terjaminnya pluralitas, kebebasan, dan keadilan. Sedangkan ruang privat adalah perilaku untuk memenuhi konsumsi pribadi. Oleh karena itu, semakin luas ruang publik dan menyempitnya ruang privat, human condition semakin mungkin terlaksana. Ternyata, gagasan Hannah Arendt ini menemui relevansi dalam konteks dewasa ini, yaitu Pemilihan Presiden.

Proses penjajakan presiden semakin intens dilakukan untuk memperoleh pemimpin negara yang tepat. Namun, seringkali proses berhenti pada poin kurang-lebih pemimpin. Maka, gagasan Hannah Arendt tersebut menjadi kriteria untuk menjernihkan pemahaman pemilih. Menganalisis kriteria pemimpin yang mau berjuang mewujudkan human condition. Terdapat beberapa konsekuensi dalam perwujudan human condition tersebut.

Pertama, bebas dari hidden agenda. Pemimpin tidak memiliki kepentingan pribadi dalamkekuasaan politik. Jika pemimpin memiliki hidden agenda, maka keadaan totaliter yang terjadi. Kendati ia memiliki konsep ruang publik, pemahaman tersebut berhenti pada konsep pasar, yaitu transaksi uang. Pemimpin memberikan jaminankebebasan sejauh ada transaksi uang yang menguntungkan pribadi (ruang privat). Kedua, tidak sektarian. Pemimpin tersebut hendaknya menjamin adanya pluralitas dan kebebasan. Ia tidak memihak kelompok tertentu tetapi memperjuangkan universalitas. Ketiga, tanggungjawab dan kritis. Pemimpin mampu berpikir kritis (mampu menempatkan diri dalam posisi orang lain) dan mampu terlibat penuh dalam kepemimpinan. Sikap tersebut membutuhkan dasar hati nurani yang mau mendengarkan suara rakyat, sehingga keputusan kebijakan tidak totaliter, tetapi berdasarkan ruang publik.

Maka, pemimpin dapat mewujudkan human condition dengan memanusiakan manusia. Pemimpin yang tidak mendominasi, tetapi mampu menghargai hak pribadi dalam komunitas apapun.Pemimpin yang mengutamakan kebebasan ruang publik dan meninggalkan ruang privat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun