Sore hari, di sebuah gubuk yang sepi akan pengunjung. Dengan angin senja yang melekat pada kulit, selalu dirasakan. Walaupun sepi dan tidak banyak yang datang ke sana, tak disangka tempat ini menjadi tempat di mana kami bisa tawa ria, senang, dan bahagia. Apalagi saat kami sedang ambulatio (pergi keluar), dan inilah "sebuah gubuk".Â
Memang gubuk ini hanya sebuah tempat yang sederhana, hanya tersedia kopi dan makanan kecil saja. berada dibawah pohon dan letaknya pun lumayan jauh dari warga sekitar. Gubuk yang dihuni oleh seorang kakek tua, yang juga selalu ditemani dengan, suara ayam, kicauan burung, suara jangkrik dan air yang mengalir di selokan. Membuat kami selalu nyaman untuk berpikir secara bebas dan menikmati keheningan di dalam gubuk itu.Â
Bagaimana bisa gubuk yang sudah berumur lebih dari 10 tahun, Dindingnya dipenuhi lumut hijau dan atapnya terbuat dari anyaman bambu kering yang sudah usang. Meskipun terlihat reyot, gubuk ini memiliki pesona tersendiri, dikelilingi pepohonan yang rindang dan suara burung yang merdu. Terlebih bidang-bidang nya hanya dilapisi dengan bambu yang berdekatan, sehingga membuat tertutup ruangan dan sudah rapuh, namun ketika musim kemarau, selalu muncul sinar lembut yang masuk melalui celah-celah dinding, yang membuatnya untuk tetap setia berdiri dalam kondisi kokoh dan kuat, penuh debu di setiap sisinya walau banyak diterpa badai entah itu hujan maupun kemarau, sehingga gubuk tersebut menjadi salah satu tempat favorit kami saat ambulatio di seminari. Banyak orang hanya melihat tempat ini dari tampilan luarnya saja seperti tempat yang kumuh, berisik, bau. Tetapi ada makna tersendiri yang kami dapatkan ketika berada di tempat ini. Dengan merasakan ketenangan atau keheningan ditambah dengan aroma bambu yang terkadang basah ataupun kering, dan tanah yang menjadi pijakan sebuah gubuk dapat membuat kami berpikir lebih jauh tentang masa depan kami sebagai calon imam, selain itu juga gubuk ini bisa membuat kami mengerjakan sesuatu hal yang bermanfaat seperti membaca buku, belajar bersama, menggambar benda di sekitar gubuk itu.Â
Banyak sekali keluh kesah yang kami ceritakan di tempat ini, dengan segala keindahan yang bagi kami hanya tempat inilah satu-satunya kami menjadi saksi bisu dari setiap emosi yang yang kami lontarkan, sehingga bagi kami hanya tempat ini yang menjadi kekuatan dan pondasi seperti gubuk yang rapuh itu. Dalam menjalani panggilan menjadi calon Imam, selain di Seminari rumah formasi kami. Betapa sunyinya gubuk ini, namun memiliki makna yang mendalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H