Mohon tunggu...
Gregorius Aditya
Gregorius Aditya Mohon Tunggu... Konsultan - Brand Agency Owner

Seorang pebisnis di bidang konsultan bisnis dan pemilik studio Branding bernama Vajramaya Studio di Surabaya serta Lulusan S2 Technomarketing Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). Saat ini aktif mengembangkan beberapa IP industri kreatif untuk bidang animasi dan fashion. Penghobi traveling dan fotografi Landscape

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Alasan Pendekatan Helix Tidak Cukup dalam Analisis Ekosistem Industri Kreatif

2 Oktober 2024   04:50 Diperbarui: 3 Oktober 2024   20:54 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Studio Kreatif. Sumber: pec.ac.uk

Sifat dasar industri kreatif yang mampu melampaui batas-batas variabel tersebut seakan membuat akhirnya perlu ada peninjauan terhadap peran kreativitas dan hubungannya dengan inovasi dalam penerjemahan ekosistem industri ini. 

Meskipun kreativitas sering kali menjadi komponen utama inovasi, faktor tersebut sendiri bukanlah satu-satunya fokus yang dapat diperhitungan. Industri kreatif memiliki karakteristik unik, seperti adanya manajemen hak kekayaan intelektual, fluktuasi pasar, dan pentingnya peran konteks budaya, yang mungkin tidak sepenuhnya tertangkap dalam model-model Helix ini.

Ilustrasi Studio Kreatif. Sumber: brunel.ac.uk
Ilustrasi Studio Kreatif. Sumber: brunel.ac.uk

Titik Buta (Blind Spot) Kedua yang Tidak Diperhitungkan: Kekuatan Pasar dan Perilaku Konsumen (Consumer Behaviour)

Faktor lain yang sering diabaikan dalam analisis ekosistem berbasis framework Helix adalah peran kekuatan pasar dan perilaku konsumen. Dalam industri kreatif, preferensi konsumen dapat berubah dengan sangat cepat, dan bisnis justru harus beradaptasi dengan perubahan ini agar tetap relevan. 

Ini tentunya berbeda dengan industri konvensional di mana siklus R&D perusahaan atau peraturan pemerintah baru diadakan terlebih dahulu lalu kemudian digerakkan untuk mendorong inovasi. Industri kreatif secara mendasar harus sangat responsif terhadap tren budaya, umpan balik dari audiens, dan sangat mawas diri pada bentuk-bentuk gerakan viral yang ada.

Selain itu, keberhasilan produk kreatif sering kali ditentukan bukan hanya oleh nilai intrinsiknya tetapi juga oleh resonansi emosionalnya dengan audiens. Hubungan emosional ini tentunya sulit diukur atau diprediksi menggunakan model Helix tradisional, yang lebih berfokus pada kolaborasi kelembagaan daripada memahami keterlibatan subjektif dan emosional yang bahkan secara makro mendorong permintaan konsumen di sektor kreatif.

Ilustrasi Studio Kreatif. Sumber: dudleycol.ac.uk
Ilustrasi Studio Kreatif. Sumber: dudleycol.ac.uk

Titik Buta (Blind Spot) Ketiga yang Tidak Diperhitungkan: Adanya Gap dalam Rantai Stakeholder Hingga Kebutuhan Alat Analisis Spesifik dalam Tiap Subsektor

Model Helix sangat menekankan stakeholder-stakeholder tertentu dalam menciptakan nilai bersama maupun insight industri. Meskipun model-model ini mempertimbangkan berbagai pemangku kepentingan (pemerintah, akademisi, industri), model-model tersebut mungkin tidak sepenuhnya memperhitungkan berbagai rantai pasok pelaku maupun distribusi nilai dalam industri kreatif. 

Ini mencakup seniman, desainer, lembaga budaya, dan perantara seperti galeri, publisher, maupun agensi yang telah dijelaskan di atas mampu menggerakkan beragam inovasi maupun tren dalam pasar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun