Preferensi Masyarakat terhadap Jalur Karier Tradisional
Ada sebuah anekdot yang cukup berkembang di mana profesi-profesi tertentu menjadi sebuah bentuk preferensi favorit di kalangan masyarakat Indonesia. Jika ditanya cita-cita pada anak-anak Indonesia, tentu akan banyak yang menjawab menjadi dokter, insinyur, akuntan, pengacara.
Tekanan masyarakat dan norma budaya yang telah mendarah daging ini tentunya akan lebih mendukung kepada jalur karier tradisional di bidang-bidang seperti kedokteran, teknik, dan hukum.Â
Saat ini, pasar pekerja kreatif sendiri tercatat diisi sejumlah 19,2 juta pekerja atau 15,21% dari tenaga kerja nasional (fisip ui, 2023). Data dari Revou secara konsisten menunjukkan angka peminatan jurusan yang lebih tinggi pada bidang STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika) ketimbang industri kreatif.Â
Hal ini dapat membuat preferensi berkarier terutama secara jangka panjang di industri kreatif lebih kecil, meskipun orang-orang memiliki bakat dan passion.
Infrastruktur dan Sistem Pendukung yang Tidak Memadai
Industri kreatif di Indonesia seringkali kekurangan akses terhadap infrastruktur, pendanaan, dan sistem pendukung yang memadai (jurnalpost, 2023). Hal ini dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan industri-industri tersebut serta membatasi peluang bagi para profesional kreatif.Â
Selain itu, dari infrastruktur yang telah ada sendiri seperti creative space diketahui konversi daya tarik masyarakat untuk bergabung dan menjadi anggota sangat kecil karena dianggap sebagai "kafe dengan akses internet yang lebih cepat" (britishcouncil, 2017). Efek pandemi memperparah usaha semacam ini hingga akhirnya berguguran (kumparan, 2023)
Dalam tatanan pemerintah, Kemenparekraf sendiri menyatakan dukungan infrastruktur digital untuk membantu industri kreatif (antaranews, 2023). Meskipun begitu, untuk dapat meraih tujuan tersebut, diperlukan kesamaan perspektif dan tujuan pembangunan industri kreatif.Â