Suatu hari saya menonton sebuah channel tentang seorang seniman terkenal yang menceritakan kisah hidupnya dimana ia juga selain mengekspresikan dirinya dalam karya seninya juga merangkap berbisnis.Â
Keduanya ia anggap sebagai sebuah panggilan hidup yang saling melengkapi dimana tidak ada pertentangan satu sama lain. Meskipun mendapat pertentangan dari kerabat dekatnya, ia tetap yakin dan meneruskan jalan hidupnya itu.Â
Tercermin darinya bahwa ia sendiri tidak melihat bisnis sebagai sebuah hal yang "kepepet" atau sebaliknya seni sebagai "tempat pelarian" dari kerasnya dunia ini. Pandangan tersebut cukup menarik dan membekas dalam diri saya.
Memang dalam kehidupan ini, terdapat dikotomi di mana bisnis dan seni adalah dunia berbeda, dan pelakunya yakni pengusaha serta seniman seperti dua makhluk dari dunia lain yang seakan tidak pernah bertemu.Â
Padahal, jika direnungkan apakah menjadi artis maupun pengusaha merupakan karier yang bertentangan, itu semua bergantung pada cara kita melihatnya. Meskipun terdapat perbedaan yang cukup melekat dalam tuntutan keseharian profesi mereka, keduanya bukan berarti tidak sejalan, malahan bahkan dapat menawarkan peluang pembelajaran yang berharga satu sama lain.
Patut diakui, terdapat nilai-nilai yang dapat berkontradiksi satu sama lain, terutama dalam prioritas, manajemen waktu, maupun toleransi risiko.Â
Pertama, secara prioritas, seorang seniman sering kali mengutamakan pengekspresian diri, kreativitas, dan mendorong batasan-batasan artistik, sedangkan pengusaha umumnya lebih mengutamakan keuntungan, efisiensi, dan juga memenuhi permintaan pasar. Perbedaan ini dapat menimbulkan konflik internal ketika mencoba mengejar keduanya secara bersamaan.
Kedua, secara manajemen waktu, seorang seniman biasanya memiliki jadwal yang fleksibel untuk mendedikasikan waktunya untuk mencari inspirasi dan kreasi, sedangkan karier dalam bisnis sering kali melibatkan jadwal dan tenggat waktu yang ketat.Â