"Mas, tolong buatkan desain yang bagus untuk brosur saya."
"Bagus yang seperti apa pak?"
"Wah saya kurang tahu. Saya percaya masnya sudah pro sekali. Yang penting pokoknya bisa menarik perhatian orang mas."
Percakapan di atas adalah sebuah percakapan yang sehari-hari bisa saya temui sebagai seorang desainer grafis. Saya yakin siapapun desainer yang berposisi di seperti di atas tentunya akan mengalami kesulitan bila menemui calon klien yang bahkan belum tahu apa yang semestinya ia minta. Hal itu seringkali wajar, karena memang tidak semua orang mengenal dunia dan proses kreatif. Sama seperti halnya seseorang meminta seorang arsitek membangun rumah tetapi tidak punya ide yang mendetail bagaimana gambaran rumahnya, demikian pula hal itu dapat terjadi di dunia desain grafis.
Bayangkan kita sedang melangkah ke negara asing tanpa peta, kompas, atau bahkan bahasa lisan. Pada dasarnya itulah yang dihadapi dari sisi seorang desainer tanpa ringkasan, brief atau referensi desain yang tepat. Meskipun kreativitas para desainer tidak terbatas, bagaimana mereka dapat menavigasi visi kita yang seringkali tanpa arah yang jelas tentunya dapat membuat kedua belah pihak sama-sama mengalami frustasi. Ini seperti kita hendak memesan pizza: instruksi yang tidak jelas dari kita akan isian atau topping pizza mungkin tetap memberi sesuatu yang bisa dimakan, tapi yang kita dapat itu bukan pizza impian kita. Dalam praktek desain, kita bisa membayangkan kalau kita hendak ingin brand usaha yang kita bangun ingin terbungkus rapi ala franchise terkenal seperti McD atau KFC, tetapi karena keterbatasan kita menyampaikan, brandnya malah jatuhnya terlihat seperti usaha kaki lima biasa yang tidak mencolok diantara pesaing lainnya.
Bagaimana solusinya? Tentunya dalam tahap ini, seorang pemilik usaha memerlukan pemberian sebuah briefing sebelum memulai proyek desain. Brief dalam bentuk ringkasan ini berfungsi sebagai kompas bersama, yang menguraikan tujuan proyek, target audiens, pesan utama, dan pedoman branding. Ini adalah peta perjalanan yang mengarahkan setiap langkah desainer, memastikan mereka tetap pada jalurnya dan memberikan konten yang sesuai dengan target pasar kita. Brief desain ini berfungsi sebagai landasan di mana setiap keputusan desain dibangun. Bagi seorang desainer, brief ini sangat membantu memberikan masukan berupa intensi kita sebagai pemilik usaha untuk memberi gambaran nuansa yang hendak dibangun untuk komunikasi pemasaran yang tepat.
Apakah briefing tentang tujuan, target, pesan utama dan pedoman brand saja cukup? Rupanya ada hal lain yang dapat ditambahkan untuk semakin mengunci kesepahaman tentang maksud proyek desain.
Terdapat sebuah ungkapan bahwa "visual berbicara lebih keras daripada kata-kata". Di situlah sesuatu yang dinamakan moodboard berperan. Moodboard secara gampangnya adalah kolase dari referensi-referensi visual yang mendekati dengan yang akan dihasilkan dalam output desain. Kita meng-kolase warna, tekstur, tipografi, dan gambar yang mampu menangkap esensi estetika yang kita inginkan. Secara sederhana, kita mengirimkan desain-desain yang sudah ada sebagai gambaran keinginan kita. Ini seperti menampilkan adegan film favorit yang kita suka, bukan sekadar mendeskripsikan alur ceritanya. Moodboard yang dibuat dengan baik akan menentukan nada emosional dan arah visual, menyelaraskan visi desainer dengan visi kita sebagai pemilik usaha. Cara paling mudah memberi contoh moodboard ini adalah kita sebagai pemilik usaha mencoba mencari beberapa desain di internet yang menarik bagi kita untuk kita berikan pada desainer. Moodboard ini biasanya dapat diberikan juga oleh desainer pada kita apabila pada briefing yang telah kita buat, desainer telah bisa menangkap pemikiran kita dan kita dalam kondisi dimana tanpa ada gambaran sama sekali. Apabila kita memiliki gambaran, alangkah baiknya apabila kita meluangkan waktu sejenak untuk mencari referensi desain sebagai moodboard untuk mencegah miskomunikasi yang tidak perlu.
Adanya referensi desain dapat membawa komunikasi kita dalam proyek desain selangkah lebih maju, memberikan contoh nyata tentang apa yang kita suka dan tidak suka sebelum dibawa dan dikerjakan dalam meja desain. Dalam konteks kompetisi perusahaan, ini bisa berupa hingga pada contoh situs web, penyebaran majalah, hingga desain kemasan dari kompetitor. Dengan menunjukkan contoh nyata tersebut, kita memberi desainer batu loncatan untuk mendapatkan inspirasi sambil menetapkan batasan yang jelas tentang kehendak kita serta menghindarkan kegagalan maupun perpanjangan waktu proyek yang tidak perlu.
Pada akhirnya, adanya brief, moodboard, atau referensi adalah untuk menjembatani kesenjangan (gap) antara visi kita dan produk akhir, memaksimalkan efisiensi dan meminimalkan revisi yang tidak perlu. Ini seperti memberikan kepada desainer serangkaian instruksi yang sangat jelas alih-alih berharap mereka secara ajaib membaca pikiran kita. Menginvestasikan waktu sedikit ekstra dalam membuat ringkasan brief yang mendetail, moodboard yang menawan, dan referensi desain yang relevan bukan hanya tentang agar output-nya semakin mendekati hasil ideal kita. Ini tentang membangun kepercayaan dan membina hubungan kolaboratif dengan desainer kita. Dengan memberikan arahan yang jelas, kita memberdayakan mereka untuk mengeluarkan kreativitas mereka sesuai parameter spesifik kita, sehingga menghasilkan proyek yang bisa secara menggembirakan melampaui harapan kita. Sehingga, setiap kali ketika kita memulai perjalanan desain, kita mengingat bahwa peta, kompas, dan beberapa bahasa lisan ini sangat membantu dalam memastikan kita untuk mencapai tujuan bersama dalam bisnis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H