Hari-hari di bulan Januari di awal tahun ini tak terasa hendak mencapai akhirnya. Saya pribadi sempat memberi "checklist" observasi diri sendiri sebagai catatan apa yang bisa saya kembangkan dalam diri saya. Ada beberapa hal yang menjadi poin highlight saya pribadi terutama berkaitan dengan sikap batin saya. Saya pribadi menilai ada peningkatan yang dibutuhkan berkaitan dengan bagaimana saya menyikapi sesuatu. Memang awal tahun ini ada berbagai situasi panas yang berasal baik dari eksternal maupun internal yang cukup membuat saya kehabisan tenaga sehingga saya perlu lebih bisa mengerem dan mengatur sikap untuk tidak selalu merespon cepat perubahan yang terjadi.
Meskipun saya bukan seorang psikolog, saya pribadi mempelajari bahwa ada batas-batas tertentu dalam diri saya  dimana jika saya mencoba melompati batas itu tanpa diiringi sebuah persiapan, akan ada perubahan negatif yang sangat signifikan dalam diri saya. Saya bisa sangat "prematur" dalam membuat keputusan, menilai pribadi seseorang, hingga tenggelam dalam emosi yang berlebihan. Dari berkaca terhadap hal itu, saya melihat bahwa begitulah cerminan hidup manusia sehari-hari dalam dunia emosinya. Manusia bisa sangat menjadi amat rapuh ketika "over-limit", meledak-ledak saat kehilangan tatanan, hingga seperti menjadi buta seketika pada saat dimana realitas tak berjalan sesuai ekspektasinya. Hal-hal semacam ini akhirnya pada mampu mengikis netralitas dan obyektivitas seorang pribadi manusia pada segala hal di sekelilingnya, bahkan termasuk bagaimana ia menilai dirinya.
Ada sebuah ungkapan klasik dari Aristoteles (Nicomachean ethics, B6, 14-16) yang dikutip oleh para filsuf abad pertengahan seperti St. Thomas Aquinas: "In Medio Stat Virtus" ("Keutamaan itu Berjalan di Tengah-Tengah"). Konteks dari kutipan tersebut adalah pada bagaimana moralitas yang kita pegang beserta eksekusinya harus tetap memiliki dasar dan terukur. Kutipan tersebut seakan selalu menjadi pengingat saya untuk menetralisir diri saya agar dalam kondisi batas puncak saya, saya tidak gegabah menjurus pada suatu ekstrim tertentu dan menutup mata terhadap ekstrim lainnya dalam setiap keputusan saya sehingga tetap obyektif dan mampu melihat kebaikan dalam setiap masalah sekalipun emosi saya pribadi tetap menghadang saya.
Adalah benar, bahwa seringkali kita bisa sangat emosional terhadap sesuatu sehingga pandangan kita menjadi amat bias. Entah itu kondisi dimana kita tengah murka pada seseorang yang menjadi lawan kita ataupun kesenangan yang over karena kita mendapat sesuatu yang kita inginkan. Pada momen tersebut, bisa jadi hal yang sangat sulit untuk kita melihat secercah kebaikan maupun realitas dari obyek yang telah membangkitkan emosi kita. Kita bisa sangat ingin hanya mendengarkan kebaikan yang kita harapkan ketimbang kejujuran nyata dari apa yang ada di depan kita. Namun, justru di sinilah tugas untuk "mengerem diri" itu senantiasa perlu. Mengembalikan kesadaran kita untuk terus bermawas diri lalu kemudian mengambil keputusan sejernih-jernihnya.
Jika ada secuplik kebaikan yang masih ada dari lawan kita, tenang dahulu, lalu katakanlah kebaikan itu sekalipun kita melihat sejuta keburukan padanya. Jika ada hal yang kurang bijak dari tokoh yang amat kita kagumi, sabar dahulu, lalu katakanlah bahwa kita tetap melihat adanya hal yang kurang bijak itu tanpa harus membual segala kebaikannya. Jika terdapat keadaan yang kita alami kurang menguntungkan dan bahkan gagal segagal-gagalnya, terimalah itu dahulu, lalu kita berpikir dengan lapang pembelajaran apa yang bisa kita dapat untuk langkah selanjutnya tanpa harus menyalahkan siapapun atau berpasrah. Demikianlah sekelumit praktek melatih keutamaan kita agar tetap berjalan di tengah. "Berjalan di tengah" ini bukanlah sebuah praktek pasrah, sekedar mengikut, apatis, cuek, tetapi justru sebuah keaktifan yang ibarat hendak berjalan di tengah licinnya es. Â Terdapat kewaspadaan dan kehati-hatian yang dalam kasus ini obyek tujuannya adalah menilai dan mempertimbangkan sesuatu.
"Jangan mudah marah, kemarahan hanya akan menurunkan kecerdasanmu, dan jangan membenci musuhmu, karena kebencian hanya akan membuatmu kehilangan keputusan penilaian yang baik" (Cao Cao, Roman Tiga Kerajaan)
Berat? Tentu. Tidak ada jalan pintas untuk melatih diri. Seorang penjinak kuda liar tentunya memerlukan latihan yang tidak dalam waktu sebentar dan bahkan sering mengalami luka yang bertubi-tubi baik dari ia mencoba mengendarai si kuda maupun mengekang kuda tersebut. Tetapi dari segala hasil latihannya itu, ia akan terbiasa untuk mampu menaklukkan makhluk yang bahkan lebih besar dari padanya. Demikian pula pentingnya kita juga menerima sambil menikmati prosesnya. Lambat laun, kita akan menyadari bahwa kita tidak perlu mengeluarkan energi yang berlebihan saat kita menyikapi sesuatu. Segalanya "pas" pada porsinya.
Selamat belajar untuk menebar kebaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H