Suatu hari saya tengah kelaparan dan kehausan di suatu tempat di Surabaya untuk mencari makan. Saya pun mampir ke sebuah tempat makan dimana terdapat banyak stand di situ.Â
Naasnya saat itu kondisi tempat itu ternyata mengharuskan pembayaran cashless only. Saya yang sudah jauh-jauh berjalan jauh pun terpaksa tidak jadi memesan, harus berjalan lebih jauh lagi untuk mencari makan mengingat saat itu kondisi rekening saya sangat menipis, ada limit penarikan uang dari bank, dan juga hanya tersisa uang terakhir di dompet.Â
Maklum, sebagai orang yang tergolong pekerja berbasis proyek, pendapat yang tak tentu itu adalah sesuatu yang wajar. Namun dari sini saya belajar bahwa implementasi cashless dari aspek masyarakat tidak semudah membalik telapak tangan.
Meskipun sistem non-tunai menawarkan banyak manfaat seperti kenyamanan, keamanan, dan transparansi, hal ini dapat menimbulkan hambatan bagi mereka yang tidak memiliki akses terhadap metode pembayaran digital atau infrastruktur yang diperlukan.Â
Kasus yang saya alami sendiri akhirnya menyiratkan tantangan pengecualian sistem bagi orang-orang yang tidak terjangkau sistem tersebut. Adalah beruntung jika ada orang baik yang mampu diajak bekerja sama mengatasi pembayaran tersebut, namun umumnya pada akhirnya menimbulkan keterpaksaan untuk mencari cara lain untuk memenuhi kebutuhan dasar tersebut.
Setidaknya tiga hal yang terimplikasi dapat terjadi berkaca dari kasus saya tersebut, yakni aksesibilitas, kesenjangan digital, hingga adanya inklusi keuangan.Â
Secara aksesibilitas, tidak semua orang memiliki rekening bank atau smartphone, terutama di kelompok masyarakat yang tidak mempunyai rekening bank atau demografi dengan tingkat literasi teknologi yang rendah. Hal ini dapat membuat mereka terjebak dalam lingkungan tanpa uang tunai.Â
Dalam hal kesenjangan digital, dapat memunculkan adanya ketimpangan akses terhadap atas keuangan digital yang dilandasi konektivitas internet, khususnya di daerah pedesaan, dimana hal tersebut dapat semakin membatasi kelayakan transaksi non-tunai.Â
Di samping itu, kendala inklusi keuangan dimana kelompok tertentu, seperti kelompok lanjut usia atau masyarakat yang tidak mempunyai rekening bank, sangat mungkin menghadapi kesulitan beradaptasi dengan sistem pembayaran baru, yang berpotensi menyebabkan eksklusi sosial dan ekonomi.
Tanpa menyalahkan siapapun, mari kita bertanya apa yang mesti dilakukan dalam era digitalisasi keuangan ini? Setidaknya ada beberapa hal yang bisa diterapkan.Â
Pertama, adanya promosi yang lebih gencar terhadap literasi keuangan dimana program pendidikan dapat membantu individu memahami dan memanfaatkan metode pembayaran digital.Â
Kedua, pemberian pilihan pembayaran alternatif, diamana selain sistem non-tunai, suatu entitas memastikan adanya ketersediaan transaksi berbasis uang tunai untuk dapat memenuhi beragam kebutuhan sambil tetap memprioritaskan cashless.Â
Ketiga, adanya investasi dalam infrastruktur dimana perluasan akses internet dan sumber daya literasi digital pada segmen-segmen yang kurang terlayani dapat menjembatani kesenjangan digital yang berpotensi terjadi.Â
Dengan mengadopsi beragam pendekatan yang memprioritaskan inklusivitas dan mengatasi permasalahan aksesibilitas, penerapan cashless dapat menjadi kekuatan untuk perubahan positif, hingga mampu memberdayakan individu dan meningkatkan pembangunan ekonomi.Â
Pada akhirnya teknologi seharusnya berfungsi untuk meningkatkan kehidupan kita, bukan menciptakan hambatan baru. Dengan juga adanya isu sampai kepada Rupiah Digital yang akan berkembang,  mari kita berjuang untuk masa depan  dengan tidak melupakan kondisi di mana setiap orang dapat memperoleh manfaat dari sistem non-tunai, tanpa meninggalkan siapa pun.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI