Lakon carangan sendiri dalam sejarahnya ada pula yang tercipta sebagai sebuah sindiran yang beredar terhadap kekuasaan politik di zaman itu. Ini dapat terlihat dari  lakon Swarga Bandang, yang dibuat pada zaman Panembahan Senapati di Mataram, yang adalah penggambaran masa bedah Mangir, lakon Rajamala dibuat zaman kekuasaan Senapati di Mataram sebagai representasi terbunuhnya Arya Panangsang di Jipang, lakon Mustakaweni sampai lakon Petruk Dadi Ratu adalah penggambaran kehidupan Paku Buwana I di Surakarta, lakon Gilingwesi (Werkudara Dadi Ratu) dibuat zaman Paku Buwana II, adalah penggambaran bedahnya Keraton Kartasura.Â
Perkembangan lakon pada era-era Mataram Islam sendiri menurut sejarah terbagi dalam lakon-lakon Kasepuhan yang dipopulerkan abdi dalem kraton dalang Kyai Panjang Mas (Ki Mulya Lebda Jiwa) dengan ciri khas memakai dagelan Gareng dan Petruk yang berkembang di daerah Yogyakarta ke barat (Kedu, Banyumas, hingga batas Cirebon), serta lakon-lakon Kanoman yang dipopulerkan oleh istri Kyai Panjang Mas yakni Nyai Panjang Mas yang berciri khas memakai dagelan Bagong yang berkembang di daerah Pacitan hingga ke timur Pasuruan.Â
Jejak-jejak pembedaan ini terasa hingga saat ini terutama dalam pewayangan gaya Jawatimuran dimana tidak terdapat tokoh Gareng dan Petruk dalam punakawan.
Selain itu, dalam perkembangannya, terdapat buku-buku yang menjadi kompilasi jalan cerita maupun mengumpulkan lakon-lakon yang beredar seperti Serat Pustaka Raja Purwa yang ditulis oleh Rangga Warsita yang akhirnya menjadi acuan pedalangan di Surakarta. Di Yogyakarta sendiri kompilasi lakon-lakon dikenal dalam serat Purwakandha yang berasal dari era Hamengkubuana V.
 Lakon-lakon carangan dalam lingkup keraton pecahan Mataram sendiri diketahui dapat pula lahir dalam konteks permintaan tertentu dari raja seperti yang dituturkan oleh Ki Cermo Sutejo dalam DG Channel mengenai asal-usul lakon Semar Boyong yang meminta lakon yang menggabungkan tokoh-tokoh Mahabarata dan Ramayana. Â
Di samping itu, gaya pedalangan lokal yang memiliki kehadiran tokoh-tokoh tertentu yang hanya dimiliki daerah tersebut seperti Bagal Buntung, Curis, Bitarota, Ceblog, Dawal dalam pewayangan Gaya Cirebon, Srenggini dan Pancasena dalam pewayangan Gaya Banyumas, Berjongganom dalam pewayangan gaya Kedu Wonosobo, hingga tokoh Besut dalam pewayangan Jawatimuran turut memperkaya lahirnya lakon-lakon Carangan lokal yang hanya dimiliki daerah tertentu.
Lakon-lakon carangan tersebut pada akhirnya membentuk sebuah cerita kejeniusan lokal bagaimana leluhur kita sendiri pintar berkreasi untuk dapat membedakan diri daripada sekedar menuruti pakem cerita Mahabarata maupun Ramayana.Â
Sebuah lakon wayang dapat lahir melalui konteks politik, upaya para pujangga merekonstruksi dunia maupun silsilah dalam pewayangan maupun adanya petuah dan hiburan lokal yang dinikmati di daerah tertentu. Khazanah budaya semacam ini merupakan suatu keindahan tersendiri yang dapat diwariskan baik melalui pelajaran maupun pertunjukkan untuk memperkaya pengetahuan kita di era modern ini tentang kemegahan leluhur kita dalam menyusun tradisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H