Mohon tunggu...
Gregorius Aditya
Gregorius Aditya Mohon Tunggu... Konsultan - Brand Agency Owner

Seorang pebisnis di bidang konsultan bisnis dan pemilik studio Branding bernama Vajramaya Studio di Surabaya serta Lulusan S2 Technomarketing Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). Saat ini aktif mengembangkan beberapa IP industri kreatif untuk bidang animasi dan fashion. Penghobi traveling dan fotografi Landscape

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

"Karya yang Dikirim Menjadi Hak Milik Panitia", Sebuah Pencurian Intelektual?

6 November 2023   06:30 Diperbarui: 9 November 2023   08:45 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Mural yang dibuat Seniman The Popo. (Foto: KOMPAS.com / KRISTIANTO PURNOMO)

Saat kuliah hari sabtu lalu, saya dan rekan-rekan sesama mahasiswa terlibat diskusi yang cukup seru. Tema kuliah yang menjadi bahasan hari itu adalah mengenai valuasi kekayaan intelektual. 

Diskusi kami mulai memanas ketika seorang rekan bercerita bahwa ia memiliki teman yang pernah mengikuti kompetisi inovasi di internal perusahaan dan kemudian karyanya diklaim hak patennya oleh perusahaan sebagai milik perusahaan.

Sementara, sang teman tidak mendapat royalti sama sekali dari inovasi yang dibuatnya sendiri yang mana ia sendiri tidak dihubungi oleh panitia atas pemindahan kepemilikan inovasinya. 

Pengajar kami kemudian menengahi bahwa sebenarnya hal semacam itu solusinya semestinya sebelum diajukan dalam kompetisi telah didaftarkan hak kekayaan intelektualnya.

Saya pribadi kemudian setelah kelas hari itu tertarik menelusuri lebih jauh tentang perkara dimana di lapangan banyak sekali kompetisi inovasi dan desain yang memiliki klausul bahwa setiap "karya yang dikirimkan menjadi hak milik panitia". Mencoba memahami pro-kontranya dan beropini.

Aspek Hukum dalam Hak Cipta dan Praktek Pelanggaran dalam Lomba

Berdasarkan smartlegal.id, dalam hal desain saja, memang seringkali perusahaan melakukan sayembara atau kompetisi logo untuk suatu programnya dalam rangka menghemat budget sehingga perusahaan dapat memperoleh pilihan yang baik atas desain yang dicarinya. 

Saya memperoleh kesimpulan bahwa Undang-Undang Hak Cipta sendiri pada dasarnya menekankan bahwa seorang pembuat memiliki hak cipta sejak karyanya dipublikasikan, namun di sisi lain juga Undang-Undang memberi ruang pemindahan hak cipta dari pencipta pada sebuah institusi melalui perjanjian pengalihan hak cipta. 

Pada titik ini, idealnya dilakukan secara praktek adalah perusahaan dapat mencantumkan pada klausul ketentuan dan persyaratan lomba.

Dalam undang-undang yang sama yang mengatur Hak Cipta ditemui ekskusivitas instansi pemerintah berdasarkan Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU No. 19 Tahun 2002 yang mana peserta sayembara diakui sebagai pencipta karya namun Hak Cipta ada pada pemerintah. 

Situs bappenas.go.id sendiri menyatakan bahwa sedari awal untuk menghindari konflik, klausul Karya yang Dikirim Menjadi Hak Milik Instansi tersebut diajukan dan juga perlu dipersiapkan perjanjian antara instansi penyelenggara dengan pemenang untuk menjadikan instansi pemerintah tersebut sebagai satu-satunya pemegang hak cipta atas karya yang diciptakan oleh pemenang hak cipta tersebut. 

Hal ini secara eksplisit menyatakan adanya kekuatan otoritas tertentu  seperti pemerintahan yang dapat mengalihkan Hak Cipta sepenuhnya.

Pertanyaan yang menarik selanjutnya adalah "Dengan adanya kemampuan pengalihan hak cipta tersebut, klausul seperti apa yang tepat sebagai ketentuan dan persyaratan lomba? Sudahkah klausul 'Karya yang Dikirim Menjadi Hak Milik Panitia' saja adalah klausul yang cukup?". 

Di sisi ini, mulailah kompleksitas masalah terjadi. Sebuah penelitian menyatakan ada fenomena dua sisi bahwa (1) rata-rata peserta lomba umumnya tidak mengerti delik perbedaan hak cipta dan hak milik (2) kepanitiaan kompetisi sendiri sering melakukan penyalahgunaan karya seperti pengoplosan karya yang memodifikasi baik karya terpilih maupun yang tidak terpilih hingga tidak melakukan izin modifikasi maupun penerbitan langsung tanpa seizin peserta sebagai pemegang hak cipta. 

Dalam hal ini, klausul "Karya yang Dikirim Menjadi Hak Milik Panitia" adalah sebuah klausul yang rentan sekali menimbulkan pelanggaran hak cipta. 

Desain Grafis Indonesia sendiri mencoba menyarankan untuk meminimalisir praktek-praktek pengoplosan atau eksplotasi karya peserta yang tidak menang dengan adanya perubahan klausul bahwa hanya yang menjadi karya pemenang menjadi hak panitia sementara yang kalah tetap disandang kepemilikannya oleh peserta tersebut. 

Meskipun begitu, melihat contoh awal di atas dari rekan saya dimana kepemilikan yang menang lomba pun bahkan dapat dilanggar tanpa adanya perjanjian khusus.

Hal ini menyiratkan adanya masalah etika serius yang terjadi atas sebuah kompetisi lomba karena secara sepihak, konsen dari pembuat karya secara eksplisit tidak terpenuhi. 

Padahal keberlanjutan setelah adanya sayembara atau lomba dalam hal ini menjadi sebuah perhatian yang dilihat dari perspektif peserta lomba.

Pencurian Intelektual Berkedok Sayembara?

Salah satu poin yang dapat dipertanyakan, "lalu apakah praktek-praktek pelanggaran ini adalah sebentuk pencurian kekayaan intelektual?" 

Untuk dapat menjawabnya, kita perlu melihat terlebih dahulu definisinya. Pencurian kekayaan intelektual sendiri menurut Proofpoint adalah penggunaan tanpa izin, eksploitasi, atau pencurian langsung atas karya kreatif, ide, rahasia dagang, dan informasi kepemilikan yang dilindungi undang-undang kekayaan intelektual. 

Pencurian kekayaan intelektual mencakup berbagai kasus, termasuk pelanggaran merek dagang, pelanggaran hak cipta, dan pelanggaran paten. 

Hal ini juga dikuatkan dalam peraturan  pemerintah Amerika Serikat tentang Pelaporan Kejahatan Kekayaan Intelektual dimana kekayaan intelektual dapat dicuri (yaitu, dilanggar atau disalahgunakan) dalam banyak cara. 

Mulai dari mereproduksi atau mendistribusikan salinan yang tidak sah karya-karya baik secara online atau dengan memproduksi dan mendistribusikan karya  yang melanggar berisi konten yang tidak sah. 

Merek dagang atau merek layanan dapat dilanggar lewat penawaran barang, jasa, label atau kemasan lain yang mengandung merek palsu. Sebuah rahasia dagang dapat disalahgunakan secara sembunyi-sembunyi baik dari pemiliknya maupun oleh suatu perusahaan orang dalam atau oleh seseorang di luar perusahaan dan digunakan untuk menguntungkan pencuri, pesaing, atau pihak ketiga lainnya.

Melalui pendekatan di atas, sebenarnya dapat dilihat secara definitif bahwa pelanggaran kekayaan intelektual sendiri termasuk pencurian dapat terjadi jika karya bersangkutan telah terdaftar secara legal sebagai kekayaan intelektual. 

Kondisi ini patut diakui potensial ditafsirkan menjadi sebuah celah yang menguntungkan pihak penyelenggaran secara sepihak. 

Bagi perspektif peserta sebuah lomba tentu menimbulkan pertanyaan "Lantas bagaimana saya dapat mendaftarkan karya saya sebelum lomba secara legal jika memang ada unsur ketidakpastian tentang keberlanjutan hasil lomba? Bukankah juga itu tetap tidak melindungi aspek pengoplosan karya panitia penyelenggara?" 

Ini akhirnya membawa kita pada kedalaman aspek masalah klaim karya lomba dimana secara esensial ada dua aspek yang  harus dibedakan : pertimbangan etis dan juga aspek legal.

Kita sendiri dapat setuju bahwa mengklaim karya peserta tanpa persetujuan mereka dapat dianggap perbuatan tidak etis atau tidak adil, terutama jika peserta seakan dibuat yakin bahwa mereka akan tetap memiliki kepemilikan atas kekayaan intelektual mereka atau jika mereka tidak diberi informasi yang memadai tentang syarat dan ketentuan kompetisi. 

Namun di sisi lain, untuk dapat menganggap sebagai pencurian "kekayaan intelektual" ada faktor legalitas karya yang sebelumnya semestinya telah dimiliki peserta terhadap karya. 

Meskipun secara hukum mensyaratkan adanya legalitas terlebih dahulu dan hanya bisa diperkarakan ketika kita sendiri memiliki legalitas, namun tindakan tidak etis ini tetap merupakan hal merugikan karena:

(1) Hal ini akan menghilangkan penghargaan dan manfaat yang layak diterima peserta atas pekerjaan mereka. 

(2) Hal ini dapat menghambat inovasi dengan membuat masyarakat enggan berpartisipasi dalam kompetisi jika akhirnya mereka takut karyanya akan dicuri. 

(3) Hal ini dapat merusak reputasi institusi jika terpublikasikan secara tidak adil atau tidak etis.

What to Do?

Salah satu pendapat yang umum dilontarkan kemudian adalah "ya kalau sudah tahu resikonya mending ngga usah ikut lomba, toh lomba pasti ngga fair".  

Melihat adanya hal-hal tersebut, memang dapat disimpulkan suatu ajang lomba sendiri terutama yang berhubungan dengan kreativitas dan karya inovasi memiliki resiko besar yang mana setiap peserta harus sadar akan konsekuensi "one way ticket" tersebut. 

Tetapi juga di sisi lain, ini mengimplikasikan adanya sebuah gap akan kebutuhan pertimbangan etika pengadaan lomba karya kreatif.

Solusi ideal sebenarnya sudah tercermin melalui apa yang ditawarkan oleh pengajar saya untuk melegalkan karya bahkan sebelum adanya kompetisi dengan segala kendala dan pertimbangannya.

Ini mengisyaratkan agar kita sendiri berinovasi dan berkarya, dilegalkan sebagai jaminan, sebelum akhirnya dilombakan. 

Meskipun begitu, dengan adanya praktek yang masih bisa "curang" di belakang setelah perlombaan, perlu ada kajian lebih mendalam yang melibatkan asosiasi bidang inovasi terkait, pemerintah, praktisi maupun konsultan expert di bidang hukum mengenai program hingga kode etik yang disepakati mulai dari pra persiapan, keberlanjutan perlombaan hingga apresiasi peserta. 

Tanpanya, para calon-calon inovator dan kreator yang menyentuh jalur perlombaan untuk mengenalkan karyanya akan selalu pulang dengan tangan hampa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun