Dengan adanya tujuan global yang dirangkum dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) yang menekankan aspek lingkungan, sosial dan ekonomi yang saling berhubungan dalam pembangunan berkelanjutan sebagai pusatnya, negara-negara maupun banyak institusi saat ini tengah berbenah dan berlomba-lomba agar memenuhi tujuan yang telah dicanangkan sejak 2015 untuk direalisasikan hingga 2030 itu. Ada banyak hal yang dilakukan mulai dari pengembangan produk yang lebih ramah lingkungan, praktek-praktek kolaborasi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan sosial, dan banyak contoh-contoh lainnya.
Meskipun begitu,  tujuan SDG tersebut rawan menerima ancaman dari momok bernama praktek-praktek "greenwashing". Praktek greenwashing sendiri menurut Australian Competition & Consumer Commision dapat didefinisikan sebagai klaim lingkungan yang keliru atau palsu. Praktek ini dilakukan oleh para pelaku bisnis yang dengan sengaja membuat klaim yang menciptakan kesan menyesatkan  pada preferensi konsumen terhadap produk dan pelayanan yang ditampakkan seolah berkelanjutan namun pada kenyataannya tidak menunjukkan adanya investasinya dalam praktik berkelanjutan.Â
Klaim tersebut memiliki banyak wujud. Menurut investopedia, praktek greenwashing bisa berupa labeling produk, penggunaan kampanye promosi dengan memanfaatkan nuansa visual natural seolah mengesankan keramahannya terhadap lingkungan, hingga tebang pilih data yang hanya memfokuskan satu atau beberapa aspek ramah lingkungan sementara pada kenyataannya di lapangan, praktek-praktek lain yang dilakukan perusahaan ternyata berbahaya bagi lingkungan.Â
Hal lain yang sering terjadi adalah pemberian label produk ramah lingkungan sehingga dapat dijual dengan harga premium, membuatnya lebih mahal, yang dapat menyebabkan konsumen tertarik untuk membayar lebih. Jika greenwashing ini dapat terungkap, hal ini dapat merusak reputasi dan merek perusahaan secara serius.
WWFÂ sendiri sempat mendaftar beberapa istilah yang sering menjadi kata kunci dari brand yang sering mempraktekkan greenwashing, mulai dari :
- Eco
- Environmentally friendly
- Recycled
- Plastic free
- Degradable
- Bio
- Green
- Sustainable
- dan masih banyak lagi
Mungkin dari daftar di atas, akan menjadi pertanyaan, "lalu bagaimana produk-produk mampu menampilkan bahwa ia sungguh ramah lingkungan dan sesuai tujuan SDG?" WWF sendiri menjelaskan bahwa sebuah produk tidak semestinya mengklaim dirinya sendiri ramah lingkungan.Â
Klaim tersebut harus dibuktikan dengan adanya sertifikasi dari pihak luar, dan juga dari pemilik brand sendiri telah memiliki riset berupa data atau statistik bagaimana produknya berdampak bagi lingkungan. Bagaimana sertifikasi ini diperoleh sendiri juga melibatkan pihak ketiga netral yang mengulas klaim brand tersebut.
Hal terakhir yang diungkap WWF adalah, bagaimana sebuah produk dapat diklaim ramah lingkungan dan berkelanjutan apabila jika memenuhi tiga pilar penyusun tujuan SDG (sosial, ekonomi, lingkungan).Â
Sebuah perusahaan menerapkan tujuan berkelanjutan bukan hanya ingin tampak "ramah lingkungan" tetapi juga karena ingin menerapkan dampaknya lebih total baik secara sosial dan ekonomi bagi masyarakat.Â
Di sinilah akhirnya tantangan sebuah perusahaan bukan hanya "terlihat hijau" tapi memiliki kejujuran dan transparansi yang diterapkan dalam nilai perusahaan hingga aksi-aksi nyata berdampak yang bahkan tidak ragu ketika dibandingkan dengan para kompetitor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H