Mohon tunggu...
Gregorius Aditya
Gregorius Aditya Mohon Tunggu... Konsultan - Brand Agency Owner

Seorang pebisnis di bidang konsultan bisnis dan pemilik studio Branding bernama Vajramaya Studio di Surabaya serta Lulusan S2 Technomarketing Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). Saat ini aktif mengembangkan beberapa IP industri kreatif untuk bidang animasi dan fashion. Penghobi traveling dan fotografi Landscape

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Fenomena Penutupan TikTok Shop: Sekadar Upaya "Kambing Hitam" atau Solusi Jitu Dunia E-Commerce?

30 September 2023   06:30 Diperbarui: 30 September 2023   06:35 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
TikTok Live. Sumber : techcrunch.com

Saat ini tengah ramai berita-berita tentang kebijakan penutupan TikTok Shop oleh pemerintah. Beragam analisis, pendapat, sampai bentuk protes cukup banyak dilayangkan. Saya pribadi harus mengakui kalau saya bukan pengguna yang begitu mendalam terjun begitu fanatik di dalam dunia TikTok, namun saya cukup mengenal seluk beluk (bahkan pernah terlibat) bagaimana sistem e-commerce maupun perdagangan besar yang memanfaatkan koridor toko online. Di sini saya akan berusaha memberikan gambaran yang memperlihatkan kompleksitas masalah yang terjadi. Dari situ kita akan dapat meneliti bagaimana akhirnya satu persatu solusi yang dapat dikembangkan.

Perilaku Orang Indonesia Terhadap E-Commerce

Berdasarkan penelitian yang pernah ditampilkan di Republika dan juga CNBC Indonesia, rata-rata alasan orang Indonesia memilih untuk berbelanja online di E-Commerce dapat dirangkum terdiri dari faktor-faktor berikut :

1. Manfaat gratis ongkir, kupon diskon maupun promo lainnya

2. Sisi kehematan waktu dan tenaga

3. Harga yang lebih murah dari toko offline

4. Terdapat perbandingan harga dengan toko lain

5. Review dari pengguna lain
6. Konten-konten, fitur, maupun layanan eksklusif lainnya

Adalah bukan rahasia dimana salah satu poin yang cukup dikeluhkan UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) sendiri terutama berada pada nomor 3 dan 4. Bagi para produsen kecil lokal, ladang market dimana mereka langsung dihadapkan dengan produsen-produsen besar bahkan produk luar yang import masuk ke Indonesia dengan harga jauh lebih murah di bawah HPP (Harga Pokok Produksi) seakan menjadi sebuah bunuh diri.

Saya pribadi dapat mengamini hal tersebut, dimana saat era booming awal adanya Tiktok Live dan TikTok Shop saya sendiri tengah bekerja di sebuah perusahaan yang mengimpor barang-barang murah dari luar untuk masuk Indonesia. Saya melihat bagaimana mereka mengandalkan modal yang cukup besar untuk memutar dengan promosi iklan, endorser-endorser yang mereview barang-barang mereka, dan juga mereka berjalan dalam konsorsium yang terdiri dari beberapa badan usaha yang akhirnya dapat spawning banyak toko dalam banyak platform dengan gaya promosi masing-masing.

Dengan adanya pemain besar semacam itu, saya dapat memahami UMKM di Indonesia bisa "menjerit". Walaupun hal ini tidak selalu terjadi hanya pada barang-barang luar negeri vs lokal, patut diakui persaingan "pabrik / gudang besar vs petani" dalam satu ladang yang sama ini merupakan sesuatu yang harus dipecahkan dari berbagai pihak mulai dari UMKM itu sendiri, pemerintah, e-commerce, maupun mereka yang memiliki perhatian pada masalah tersebut.

Logo TikTok. Sumber : vecrostudio.com
Logo TikTok. Sumber : vecrostudio.com


Dari sisi konsumen dan e-commerce, patut diakui kita sendiri terlanjur dimanjakan dengan kondisi dimana ladang horizontal untuk perang harga seakan sudah menjadi format paten di e-commerce. Padahal sebenarnya ada banyak sistem pengkondisian yang dapat dilakukan, misalkan dengan e-commerce dalam patokan jarak seperti yang dilakukan dalam fitur gofood maupun grabfood. Di luar negeri, hal semacam ini dilakukan dengan pemain seperti Instacart yang memakai sistem personal shopper yang mencarikan barang dalam range terdekat pada waktu cepat. Meskipun begitu, pengkondisian ini juga tidak dapat berjalan sendiri dimana terdapat pula peran stakeholder terkait di dunia e-commerce dan juga tiap-tiap tenantnya.

TikTok Shop dan Pengembangan Marketnya

Sebagai salah satu sosial media yang sukses dalam menggaet pasar anak muda yang berusia 16-34 tahun yang menjadi pasar usia produktif terbesar saat ini, mulanya Tiktok pada tahun 2021 melaunching fitur TikTok Shop  untuk menandingi Instagram Shop dan Marketplace Facebook. Dengan adanya perubahan minat pasar yang lebih menyukai genre short video &  reels untuk kemudahan memperoleh informasi tersebut, karakteristik Generasi Z sebagai pengguna yang cenderung impulsive buyer didorong oleh potensi sisi hedon, ditambah pula adanya fitur untuk langsung mengadakan pembayaran yang membedakan dengan platform sosial media lainnya (one stop solution), Tiktok Shop kemudian berkembang pesat menjadi salah satu media yang memiliki pertumbuhan traffic yang pesat.

Gambaran TikTok Shop. Sumber : shop.tiktok.com
Gambaran TikTok Shop. Sumber : shop.tiktok.com

Dalam perkembangannya, TikTok Shop diketahui lebih merambah luas pasarnya. Sejumlah pemain besar, influencer, maupun artis yang sebenarnya bukan tergolong usia target market utama TikTok diketahui turut pula terjun dalam tren tersebut, dan hal tersebut juga dikeluhkan oleh para pedagang kecil.  Ini menambah komplikasi perdebatan tentang peranan TikTok Shop di tengah masyarakat. Apabila sebelumnya di platform e-commerce konvensional sudah kalah telak dari pabrik atau gudang besar, di sini tantangan para pedagang UMKM konvensional juga harus menghadapi tokoh-tokoh yang lebih dahulu mendapat nama sebagai pesaing di ladang market tersebut. Ibarat kata, keluar dari mulut singa, masuk ke mulut buaya.

Di titik ini, dengan gempuran dari pemain-pemain raksasa, hal pertama-tama yang terpikir tentunya "bagaimana akhirnya strategi dari UMKM untuk dapat membedakan diri dari mereka?" Di sinilah akhirnya permasalahan kita dapat mengerucut pada bukan sekedar masalah "enaknya buka lapak dimana?" tapi bagaimana kreativitas bisnis juga memiliki peran.

Kondisi UMKM, Tiktokpreneur, dan Kebijakan Pemerintah

Salah satu pertanyaan menggelitik dari beberapa orang adalah "lah bukannya UMKM sendiri harusnya lebih pede dan juga ikut lebih dalam terjun ke platform tersebut ya ketimbang mengeluh?". Sanggahan terhadap pertanyaan semacam itu sebenarnya dapat dicrosschek seperti yang telah disajikan dari bisnis.com dari bagaimana para pedagang tersebut juga telah mencoba terjun ke dalam Live Shopping, meskipun begitu biaya operasional yang ditanggung akhirnya juga tetap lebih besar dari pendapatan. Ada gap yang dirasakan para pedagang mengenai posisi mereka sendiri di mata masyarakat dibandingkan artis maupun influencer yang menghiasi layar kaca dunia TikTok.

Kondisi berbanding terbalik dirasakan oleh anak-anak muda yang tergabung sebagai "Tiktokpreneur", RTE menggambarkan bahwa anak-anak muda justru mendapat peluang dan bahkan keuntungan besar dari TikTok untuk memasarkan produk-produk yang berdaya saing untuk sukses di pasar. Kunci dari pemasaran mereka adalah bagaimana mereka dapat memahami perubahan konsumen mereka dan juga riset produk sebelum mulai berekspansi.

TikTok Live. Sumber : techcrunch.com
TikTok Live. Sumber : techcrunch.com

TikTok Shop sendiri menurut salah satu pendapat dari detik.com adalah sebuah sarana dimana generasi muda yang memiliki buying power terbatas dapat melakukan kebebasan pembelian. Sebenarnya apabila diukur dari margin pendapatan, margin yang didapat di Tiktok Shop ketimbang platform belanja online lain dapat dibilang lebih kecil, namun ia memiliki kelebihan dimana ia disetting memang untuk strategi bisnis dan daya kreativitas yang menyesuaikan kondisi anak muda saat ini sebagai pasar terbesar. Oleh karenanya, untuk dapat bersaing, suatu entitas perdagangan baik UMKM, startup, maupun perusahaan-perusahaan konvensional tidak dapat berjalan sendiri melainkan perlu terbuka dan juga bekerjasama dengan agensi atau studio yang lebih memahami bagaimana pengkomunikasian di platform tersebut maupun ekosistem digital lainnya.

 

Kita dapat melihat bahwa kebijakan pemerintah terhadap TikTok Shop ini menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan, bahkan ada pendapat dari Crazy Rich yang menyatakan bahwa TikTok sebenarnya memberi lapak yang lebih murah daripada membuka toko offline langsung. Memang sebenarnya pelarangan terhadap posisi platform TikTok ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi dengan adanya fenomena bahwa rakyat Indonesia sendiri sudah banyak yang terjun dan familier dalam platform tersebut, akan tetap menimbulkan pertanyaan "Lalu bagaimana selanjutnya?"

Kebijakan Pelarangan TikTok Shop: Sebuah Solusi atau Sekedar "Kambing Hitam"?

Sampailah kita pada bagian akhir dari pembahasan ini. Sebelum masuk ke inti judul, ada satu pertanyaan lain yang juga sempat menggelitik perhatian-  yang agaknya berbau konspiratif -  "Apakah kebijakan pemerintah ini didorong oleh kepentingan platform e-commerce lain yang terdampak popularitas TikTok?" Di titik itu, saya pribadi malah lebih ingin bergerak lebih jauh mengembangkan pertanyaan tersebut dengan menampilkan pertanyaan tambahan "Apakah Kebijakan Pelarangan TikTok Shop ini adalah solusi atau hanya menjadi "kambing hitam" atas kelesuan ekonomi yang terjadi?" 

Pertama-tama, terlepas dari benar tidaknya fakta dibalik pertanyaan pertama tersebut, bagaimanapun peraturan pemerintah pada akhirnya harus tetap kita taati namun juga kita patut pula menyuarakan pendapat dan perlu ada dialog dan aksi nyata dengan setiap stakeholder yang terlibat dalam jalur perdagangan lokal. Seluruh pendapat di atas sebenarnya pada akhirnya bermuara pada bagaimana secara kolaboratif pengembangan UMKM dapat dilakukan. Dunia bisnis setelah pandemi menemui ketidakpastian yang sangat besar, dan juga ada seakan jurang yang semakin bertambah lebar dimana "yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin", tetapi yang akhirnya bakal berdampak dan memberi impresi mendalam pada masyarakat dapat terlihat secara ideal bahwa bukan sekedar cerita tentang orang yang miskin menjadi kaya tetapi orang-orang yang saling bergandengan tangan tanpa batas.


Kedua, mengenai pertanyaan saya sendiri terhadap kasus ini, dikatakan dalam riset oleh Prooijen pada UNESCO Courier 2021 adalah sebuah hal yang umum berpotensi untuk terjadi dimana dalam sebuah krisis, adanya narasi scapegoating terhadap pihak yang terlihat nampak pada posisi di atas angin, seperti pada fenomena Xenophobia selama masa COVID. Namun, di sisi lain, hal semacam ini akhirnya mengarahkan pada kebutuhan kejernihan informasi. Memang akan selalu ada fase panik dan pemikiran prematur yang dapat muncul dalam sebuah krisis maupun perubahan yang cepat, tetapi di sinilah setiap entitas diuji sesungguhnya, bagaimana ia akan tetap menjaga integritasnya di tengah berbagai upaya hingga sampai tahap pelaksanaan solusi yang diberikan. Hal ini di dalam bisnis sendiri adalah sebuah harta berharga yang amat dicari setelah segala wacana penyelesaian masalah keluar dari benak kita. Stay relevant!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun